“Saya tidak suka orang yang makan buah pinang itu apalagi kalau orang-orang Wamena itu, mereka kotor sekali meludah pinang di mana-mana,” pemuda Papua tamatan SMA yang berkepala plontos terus nyerocos di hadapan saya, “Kami dari Yahukimo. Saya tidak suak makan itu buah pinang. Kotor dan merusak gigi.”
Entah bagaimana ceritanya, saya tiba-tiba terjebak dalam diskusi buah pinang dengan pemuda yang bahkan baru saya kenal dua menit yang lalu ini. Namun itulah, buah pinang sudah menjadi bagian dari kultur masyarakat Pulau Papua, baik di sisi Indonesia maupun di sisi Papua Nugini. Jangan heran apabila mereka terlihat mengunyah-ngunyah buah pinang di manapun mereka berada hingga perkantoran acapkali memasang papan larangan meludahkan buah pinang di teritorinya.
Tidak salah. Buah pinang mempunyai noda berwarna kemerah-merahan yang membuat gigi seperti baru saja mengunyah cat tembok, sedangkan noda yang diludahkan juga berwarna merah dan sulit sekali dibersihkan. Itulah mengapa jalan raya di Jayapura dan Wamena kerap dipenuhi dengan bercak-bercak merah seakan kota itu baru saja dibom cat dari langit.
Di Kota Jayapura sendiri, penjual buah pinang duduk berderet-deret, mulai dari pasar, trotoar, bahkan hingga ke tempat-tempat festival seakan buah pinang adalah pengganti teh botol di tempat ini.
Mendengarkan cerocosan si pemuda tadi saya jadi mengurungkan niat untuk mencoba buah pinang. Awalnya saya memang ingin mencoba namun juga agak ragu lantaran rasa pahitnya bisa membuat kepala serasa dipukul panci penggorengan. Ah, biarlah, barangkali lain waktu saya masih bisa mencobanya apabila ada cukup selera.