Hairani, Baddu, Darwis, dan mata saya pun terus menyapu deret-deret dua lusin nama lainnya yang hampir pudar di mading beralas tripleks. Nama-nama tersebut ada di sana karena satu alasan, mereka semua dimangsa buaya. Kutai memang dikenal punyai banyak sungai yang menjadi habitat bagi Crocodylus porosus, buaya muara, yang notabene merupakan salah satu spesies buaya terbesar di planet ini.
Sang “Monster dari Sangatta” terbujur membeku di hadapan saya. Buaya muara berukuran panjang 6,6 meter dan bobot nyaris setengah ton ini ditangkap di Sungai Kenyamukan, Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai, dua puluh tahun silam. Semenjak saat itu buaya jantan ini diawetkan dan dipajang di dalam etalase Museum Kayu Tuah Himba sekaligus menjadi daya tarik utama museum ini.
Tujuh puluh tahun lamanya buaya muara yang bentangan rahangnya selebar dua jengkal tangan saya ini mendiami sungai di sekitar Sangatta. Entah berapa banyak korbannya, hingga kemudian memangsa Nyonya Hairani pada tahun 1996. Petualangan buaya yang sempat menebarkan teror di desa-desa pedalaman Kutai tersebut akhirnya disudahi dengan menggunakan bom ikan. Ketika buaya yang terluka parah tersebut keluar dari sarangnya, ia ditembak mati dalam sebuah penghakiman terakhir yang brutal, dan perutnya pun dibedah.
Selain buaya jantan tadi, di museum ini juga terdapat seekor buaya betina yang berukuran sedikit lebih kecil. Buaya tersebut juga pernah memangsa penduduk Kutai. Jadilah kedua buaya raksasa pemangsa manusia ini disandingkan di ruang tengah museum, menghadap lurus ke pintu depan.
Dua puluh tahun berselang semenjak riwayatnya berakhir, Monster dari Sangatta masih menjadi sentrum perhatian masyarakat Kutai. Apabila dahulu ia menebar teror, kini ia menjadi maskot tidak resmi Museum Kayu Tuah Himba.