Gurat-gurat samar masih terlihat di permukaan kanon berkarat itu, 1842. Lebih dari satu setengah abad silam, Kerajaan Melayu Lingga memesan tujuh lusin kanon dari Eropa. Kanon-kanon pabrikan Belanda ini mengawal Benteng Bukit Kursi, dengan moncong terarah ke perairan. Tujuh dekade berikutnya kerajaan kecil ini harus berjibaku menghalau invasi asing, sebelum akhirnya dibekukan oleh pemerintah kolonial.
Kakek tua itu meraba kepala kanon yang lembap berkarat. Bergumam sebentar, kemudian hening. Saya mencoba mengintip dari belakang meriam, ternyata memang dari posisi tersebut sangat leluasa untuk menembak langsung ke laut lepas.
Di depan dinding benteng terhampar parit-parit terjal. Selain bermanfaat untuk menghambat mobilisasi musuh yang datang dalam jumlah besar, parit-parit tersebut juga berfungsi sebagai lintasan penghantar bubuk mesiu. Ketangguhan benteng ini tentu tidak diragukan. Ketika Belanda berkuasa, delapan puluhan kanon aktif yang ada di benteng ini disita. Disisakan lima mortar saja.
Benteng Bukit Kursi dibangun pada masa pemerintahan Raja Haji Fisabillah, pahlawan nasional yang juga dimakamkan di pulau kecil ini. Raja Haji Fisabillah merupakan putra dari Daeng Celak yang kemudian gugur dalam pertempuran laut di atas perahu Bulang Linggi.
Namun kini tidak banyak yang tersisa dari Benteng Bukit Kursi. Nama besarnya hanya menyisakan lima kanon berkarat dan dinding terjal yang sudah ditumbuhi lumut tebal. Sementara luasan pandang yang dahulu berhadapan langsung dengan Selat Malaka, kini terhalang rimbun pepohonan liar.
Hujan gerimis kembali mengguyur tempat ini. Saya mengucapkan kalimat perpisahan dengan sang kakek kemudian berlari kecil menyeberangi jembatan kayu kembali ke pemukiman. Untuk keluar dari tempat ini saya harus menerobos baris semak belukar yang rungkut. Sesekali sepatu ini terbenam dalam lumpur cokelat becek. Entah mengapa, nuansa keagungan Benteng Bukit Kursi tetap terasa, walau tinggal cerita.