Kami berkejaran dengan pagi hingga ke bibir tebing. Dari atas Bukit Moko secercah cahaya merah muda membias mewarnai setengah langit biru. Sekitar satu lusin anak muda lainnya ikut menyaksikan momen matahari terbit di akhir pekan itu.
Lama saya mengenal Bukit Moko. Sejak masa-masa kuliah di Dayeuhkolot dulu, atap Caringin Tilu ini jadi pelarian di kala jengah dengan hiruk pikuk Bandung. Semakin ke sini, kawasan perbukitan ini semakin populer. Jikalau dulu saya kerap menyendiri di sana, sekarang jangan harap. Menyendiri dalam sunyi sepi menikmati matahari terbit di Bukit Moko pada akhir pekan adalah dongeng.
Perlahan-lahan warna ungu memudar, dikalahkan oleh biru langit. Beberapa orang membungkus kembali peralatan fotografi mereka yang mahal, sedangkan saya kembali memasukkan kamera ke kantong jaket sembari berjalan menuju salah satu warung.
Gugun, Yugie, dan Nanda mengikuti. Semangkuk mie rebus menemani dikusi pagi yang dingin itu, apa lagi kalau bukan perkara kantor. Mulai dari siapa yang resign hingga siapa yang bikin ulah.
Saya memungkas pembicaraan dan mengajak mereka bertiga untuk berjalan ke Puncak Bintang. Puncak Bintang terletak tidak jauh dari tempat kami duduk sekarang, sebuah perbukitan landai dengan hutan pinus yang merimbuni setiap sisinya. Udara beku yang berhembus tidak mampu menembus jaket tebal saya, sementara kami berjalan menerobos keteduhan pinus.
Bandung kota yang cantik. Namun seiring dengan meroketnya popularitas kota ini, ketenangan semakin sulit untuk dicari. Tidak salah apabila saya merindukan kedamaian Bandung yang dulu.