“Hebat juga ya pemerintah Toraja, listrik masuk sampai ke sini,” celetuk Rudy seraya mengamati tiang-tiang listrik yang miring nyaris bersandar di lereng-lereng bukit antah berantah.
Saya tidak terlalu mempedulikan ocehannya karena sedang sibuk fokus ke jalan. Senja itu saya memboncengkan Rudy dalam perjalanan ultra-ngawur menembus tinggian Buntu Sesean, bukit di utara Toraja. Matahari yang sudah rendah di sebelah barat kadang menjadi berkah namun kadang juga menjadi siksaan mata, tergantung ke arah mana sepeda motor bergerak.
Rudy yang duduk di jok belakang membuka peta lusuhnya lebar-lebar, kemudian menunjuk ke salah satu danau yang ada di peta tersebut. Entah danau apa namanya. Setelah berputar-putar hampir setengah jam, kami tidak menemukan ada tanda-tanda apapun perihal keberadaan danau yang dimaksud oleh peta tersebut.
“Coba kita tanya orang lewat,” saya mencoba mengemukakan solusi pamungkas.
Masalah satu, tidak ada orang lewat. Buntu Sesean pada hari itu memang benar-benar sepi, tidak nampak ada satu orang pun berada di tinggian bukitnya. Barangkali sudah terlampau sore kami berada di tempat ini atau lantaran hari ini bukan akhir pekan, akibatnya tidak banyak pejalan bersinggah ke Tana Toraja.
Kami menyerah. Sepeda motor saya parkirkan di tepi jurang. Di hadapan saya terhampar luasan sawah yang punya lekuk-lekuk terasering begitu rapat seakan-akan pola itu turun begitu saja dari langit. Matahari yang menyorot rendah di belakang membuat warna jingga dan hijau berbaur apik di permukaan sawah.
Biarlah kami tidak menemukan danau yang dimaksud. Tanpa adanya danau itu pun, cantiknya Buntu Sesean sudah membawa kepuasan bagi kami berdua.