Siang baru saja pungkas. Saya duduk di atas pasir putih Pantai Burung Mandi seorang diri menikmati teduhan pohon yang menahan jerangan matahari yang benar-benar jahanam. Sementara di ujung sana terlihat kapal-kapal nelayan dengan lambung warna-warni diparkirkan seakan tak bertuan.
Pantai Burung Mandi termasuk pantai kardinal yang terletak di Belitung Timur. Dibandingkan dengan pantai-pantai lain yang ada di sisi timur Nusa Laskar Pelangi ini, sudah dapat dipastikan Pantai Burung Mandi adalah yang paling sohor. Salah satu faktor yang mendongkrak popularitas pantai ini adalah kedekatan lokasinya dengan Vihara Dewi Kwan Im yang membuat keduanya menjadi kunjungan satu paket.
Meskipun diklaim sebagai salah satu pantai granit khas Belitung, jangan berharap menemukan batu-batu granit raksasa karakteristik Pulau Belitung di sepapar luar pantai ini. Diperbandingkan dengan Tanjung Tinggi atau Tanjung Kelayang, sudah barang tentu Pantai Burung Mandi dikerdilkan oleh ukuran baris bebatuan granit yang ternyata tidak seberapa.
Pantai Burung Mandi punya laut yang bergelora berbatasan langsung dengan Selat Karimata. Pantai ini sudah menjadi emplasemen pelesir sejak zaman Belanda, utamanya setelah Belanda membuka pusat penambangan timah pertama di sebuah dusun yang tidak jauh dari sini yang kini dinamai Desa Damar. Dari papar pantainya kita bisa melihat Gunung Burung Mandi sebagai latar belakang.
Belanda pernah diam-diam menambang stannum di sempadan pantai ini pada tahun 1770. Para londo itu baru mengakui aktivitas mereka di sini sekitar delapan puluh tahun kemudian. Entah benar atau tidak, pada mulanya Belanda menyebut kawasan ini dengan sebutan Boromandi, yang kemudian diadaptasi menjadi Burung Mandi oleh masyarakat sekitar.
Tidak jauh dari garis pantai terdapat sebuah pulau kecil yang dulu dinamai Pulau Hendrik. Kini pulau tersebut menyandang nama Pulau Tang dan pada saat air surut dapat dijangkau dengan berjalan kaki dari papar pantai berpasir putih ini. Pulau Tang menjadi salah satu atraksi di tepi Pantai Burung Mandi, utamanya akhir pekan.
“Setiap Agustus di sini ada lomba perahu,” kata seorang bapak tua yang menemani saya duduk di tepi laut siang itu, “Jadi jangan heran apabila banyak perahu warna-warni di sini.”