Anak-anak jahil itu membawa lima ekor sapi. Setiap badan gemuk sapi tersebut dicat putih dengan angka besar-besar, satu, dua, tiga, lima, dan enam. Kelima sapi tadi kemudian dilepaskan di sebuah sekolah di Eustis, Washington. Kepanikan pun terjadi. Petugas turun tangan dan butuh satu jam untuk menangkap kelima sapi. Ketika lima sapi tertangkap, petugas masih disibukkan mencari sapi nomor empat. Hingga esok hari mereka tidak berhasil, karena sapi nomor empat memang tidak ada!
Candi Gedongsongo bermakna sembilan. Namun ketika berkunjung ke sana, dari bukit ke bukit, hanya ada lima candi. Banyak orang yang sudah mencarinya, ke mana empat candi sisanya? Jadilah kami siang itu mencari-cari candi yang keenam dan seterusnya, kebodohan yang jelas tidak berhasil.
Memang tidak ada. Terlepas dari namanya yang semi-deskriptif, kompleks Gedongsongo memang hanya mempunyai lima candi saja. Apa pasal? Entahlah. Bisa jadi namanya tidak menjalin relasi dengan jumlah candi. Bisa pula dari sembilan candi yang direncanakan, ternyata empat candi urung dibangun. Atau lebih menarik lagi, keempat candi itu sebenarnya ada namun terkubur letusan gunung berapi.
Mirip seperti Dieng, kompleks percandian Gedongsongo terpencar di sela-sela perbukitan. Satu candi dan yang lainnya terpisah oleh landaian bukit-bukit yang berbeda. Tidak hanya itu, Candi Gedongsongo juga mempunyai kesamaan struktur dengan Candi Dieng meskipun mayoritas reliefnya yang berasal dari abad delapan sudah tidak utuh.
Tergantung kepada apa yang anda miliki berlebih, tenaga atau uang. Apabila tenaga berlebih, anda bisa berjalan kaki menyusuri perbukitan untuk menyusuri setiap candi. Apabila uang berlebih, anda pun bisa menyewa kuda. Pengunjung doyan jalan seperti saya tentu lebih memilih untuk berjalan kaki.
Belum lohor, kami sudah bergegas kembali ke Bandungan. Perjalanan bersama keluarga tentu bukan saat untuk menjadi kreatif, apalagi jika melibatkan orang tua.