“Di kota ini tempat nongkrong ya cuma alun-alun ini dan Taman Ahamami,” terang Anif kepada saya yang sedang duduk di hampar Lapangan Serasubah yang riuh malam itu, “Satu lagi tempat nongkrong agak luar kota sana.” Seharian saya berkeliling bersama Anif,
Kab Bima
Kuliner Masam ala Bima
Inilah padanan makanan yang harus saya santap seraya mengerutkan kening. Masamnya tidak tanggung-tanggung, seperti ikan yang direbus dalam rendaman cuka selama berabad-abad. Uta palumara londe dan uta sepi tumis adalah dua santapan yang ditawarkan oleh Anif kepada saya pada malam
Dari Tinggian Dana Traha
Tanahnya agak becek sisa hujan semalam. Kedua kaki saya berusaha untuk menapaki jalanan yang ketika dipijak terkadang merosot ke bawah lantaran remah-remah lumpur ada di mana-mana. Tanah perbukitan ini terus menanjak hingga akhirnya kami tiba di pelataran luas di puncak
Uma Lengge Filosofi Bima
Mentari senja menerangi jalan kami ketika sepeda motor kecil itu digeber oleh Anif menyusuri tepian ngarai di Kota Bima. Dari lekukan jalan utama, kami menerabas masuk ke lorong kecil mengarah ke Desa Maria. Di sanalah kami berencana untuk menjelajahi salah
Bima dari Pinggir Ngarai
Saya meminta Anif menghentikan motornya. Kami berdiri di paparan jalan raya yang sepi, tepat di ambang tebing. Sementara di bawah sana terbentang hamparan padang rumput menghijau dalam celah sempit yang diapit oleh dua perbukitan. Cahaya matahari berpendar apik menembus sela-sela
Disambut Hujan di Bima
Baling-baling pesawat kecil itu masih berputar kencang setuntas roda-rodanya berhenti di landasan. Guyuran hujan yang membasuh Kota Bima siang itu ibarat sambutan yang tidak diharapkan. Apa lagi kalau bukan lantaran penerbangan pesawat kecil yang senantiasa terasa penuh goncangan dari Denpasar