Perhentian di Lahat mengingatkan saya kepada kota-kota kecil di selatan Jawa Tengah pada tahun 1990-an. Lalu lintas yang ramai, ekonomi mikro yang sedang bergairah, dan kota yang tengah meluap melebihi kapasitasnya. Namun tentu saja Lahat ikut merasakan gelora pertumbuhan kelas
Kab Lahat
Bukit Serelo, Gunung Jempol!
“Kamu ingin memotret gunung itu?” tanya Pak Sopir kepada saya yang terlihat menggenggam kamera sembari menerawang ke luar jendela mobil, “Sebentar. Nanti di depan sana ada tikungan yang bagus buat memotret.” Benarlah kemudian. Mobil diberhentikan di sebuah tikungan, Bukit Serelo
Batu Pijar dan Cughup Ganya
“Ada satu cughup di sana. Tapi jauh. Angker,” celoteh ibu muda tadi terpatah-patah seraya menggendong bayinya dalam dekapan selendang, “Air terjun. Harus jalan lagi dari sini masuk hutan ke sana. Masuk ke dalam.” “Batu Pijar, Ibu?” tanya saya mengulangi pertanyaan
Kunjungan Istimewa ke Lahat
“Jangan sekali-kali berkeliaran setelah matahari terbenam,” ucap laki-laki uzur itu seraya mendekatkan bibirnya ke gelas kopi. Gurat-gurat di pipinya terlihat begitu jelas di bawah redupnya teras hotel sore itu. Ini pesan yang sama persis keempat kalinya yang saya terima hari