Aceh adalah saudara yang nyaris jadi tetangga. Apalagi kalau bukan gara-gara masalah kesejahteraan.
Di tempat ini pemberontakan besar-besaran pernah pecah, menghiasi halaman depan surat kabar selama bertahun-tahun. Lambat laun kesan sengketa pun menjejali benak setiap orang. Menjadikan Aceh identik dengan konflik. Perundingan demi perundingan digulirkan, konferensi demi konferensi digelar, mencari kata sepakat yang berujung pada sebuah panasea bernama otonomi daerah.
Ini tidak adil. Tidak adil mengidentikkan tanah seindah ini dengan konflik.
Di balik setiap mendung selalu ada benang perak. Tsunami yang dahsyat mengakhiri konflik panjang dan mengajak semuanya untuk mulai dari awal. Memasuki masa damai, Aceh kembali membangun. Sekolah, rumah ibadah, tempat tinggal, dan segala fasilitas publik kini terbangun lagi. Aceh telah bangkit. Bahkan dalam beberapa hal, ia dibangun menjadi lebih baik daripada sebelum tsunami.
“Saya bangga menjadi orang Indonesia,” pungkas Pak Rochim sembari menggenggam satu tumpuk DVD dokumenter tsunami yang dijualnya seharga lima belas ribuan. Saya juga.