“Di Kerinci inilah manusia dan harimau hidup bertetangga,” ungkap Pak Naufal memulai ceritanya seraya menyesap sisa-sisa terakhir kretek yang sedari tadi dihimpit jari-jari tuanya.
Adalah Tingkas, kelompok tetua Kerinci pada zaman yang sudah jauh lewat, mengikat kaul dengan pemimpin harimau. Perjanjian dua mahkluk berbeda spesies ini adalah seputar pembagian tanah wilayah. Harimau berhak mendiami hutan Kerinci sementara manusia berhak atas perkebunan dan pemukiman. Tidak satu pun dari mereka berani melanggar batas itu.
Tingkas itulah yang kemudian bertugas membina hubungan baik antara manusia dan harimau di tanah Kerinci. Manusia tidak seharusnya mengusik habitat harimau dan sebaliknya harimau juga tidak akan berani memasuki pemukiman.
“Cindaku,” seloroh Pak Naufal melanjutkan ceritanya, “Adalah kisah tentang manusia harimau yang dikenal oleh rakyat Kerinci. Cindaku bisa berubah menjadi manusia maupun menjadi harimau, agar mampu berkomunikasi dengan kedua spesies.”
Terdengar seperti sinetron. Tetapi demikianlah manusia harimau adalah sebuah legenda rural yang sudah turun temurun di tanah ini menjelaskan bagaimana nenek moyang manusia Kerinci masa silam begitu berhati-hati ketika berhadapan dengan alamnya.
Masyarakat Kerinci masih percaya bahwa Cindaku dapat berubah menjadi harimau ketika dadanya menyentuh tanah Kerinci yang merupakan rumah dari sang harimau Sumatera. Walaupun juga dipercaya bahwa sang Cindaku hanya menampakkan diri ketika ada gesekan antara manusia dan harimau di tinggian ini.
“Ya, cindaku itu seperti orang introvert,” pungkas Pak Naufal mengakhiri ceritanya dengan sedikit kelakar, “Introvert karena konon kalau bicara dengan manusia mereka akan enggan memandang muka lawan bicaranya. Biasanya mereka juga berkumis.”