Altar batu itu teronggok di depan beberapa rumah penduduk desa itu. Bukan sekedar altar batu biasa, melainkan altar batu seluas lapangan voli yang di tengahnya terdapat sebuah pohon dadap. Penduduk sekitar menggunakan altar ini sebagai tatak pemujaan kepada Tuhan, dengan mengorbankan kerbau atau sapi di atasnya. Mereka menyebut altar ini dengan istilah : compang.
Demikianlah kemudian desa yang lokasinya tidak jauh dari kota Ruteng ini disebut dengan nama Desa Compang atau Desa Compang Ruteng.
Kehidupan masyarakatnya begitu sederhana. Mereka masih terpatok dengan budaya-budaya tradisional yang kental dalam keseharian mereka. Ketika saya berkunjung ke sana kemarin, mereka menyambut saya dengan buku tamu. Artinya memang sudah sering desa ini dikunjungi wisatawan. Menariknya, dari beberapa halaman buku sebelumnya, seluruh wisatawan yang berkunjung berasal dari luar negeri!
Artinya hampir tidak pernah ada orang Indonesia yang berminat meluangkan waktu untuk mengunjungi mereka. Terang saja fenomena seperti ini agak aneh bagi saya. Mengapa orang Indonesia sendiri tidak tahu akan adanya wisata budaya lokal di negara mereka? Entahlah.
Selain dengan sebutan Compang Ruteng, desa ini juga disebut-sebut dengan nama Ruteng Pu’u. Ibu yang menyambut kami nampak antusias menjelaskan keberadaan mezbah pada episenter desa tersebut sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Saya memasukkan Rp 20.000 ke dalam kotak donasi dan kemudian berjalan masuk ke satu rumah tradisional yang ada di sana.
Entah ada apa di sana, namun bagi Lomar dan saya, yang terpenting adalah kami bisa bertamu ke desa tradisional ini, terlepas dari apapun yang akan kami temukan di sana.