Kira-kira hanya seratusan anak tangga. Namun lengan pendek arloji yang sudah menunjukkan pukul enam sore membuat saya sedikit bergegas menuruninya. Boleh dibilang saya terlampau terlambat mengunjungi air terjun yang teduh di lereng Gunung Dempo ini. Sudah barang tentu suasananya sunyi sepi di sore ini.
Di bawah sana saya berdiri seorang diri. Air terjun pipih menghujam tanah laiknya jarum. Dengan debit air yang tidak seberapa namun tinggi sekitar seratus meter mengalir anggun dengan latar belakang bebatuan berselimut lumut hijau. Saya menarik kamera dari saku dan mengambil beberapa gambar, sementara suasana begitu sunyi sehingga suara napas saya terdengar beradu dalam sepi dengan deburan air yang memenuhi ambien.
Orang bilang bahwa air terjun itu identik dengan tempat angker. Apalagi pada sore hari yang senyap seperti ini hanya sesaat sebelum mentari terbenam. Namun sebagai seseorang yang tidak mengindahkan hal-hal klenik, saya relatif tidak acuh. Satu-satunya hal yang saya khawatirkan adalah bahwa saya harus mendaki seratus anak tangga untuk kembali ke atas.
Dan benar. Kaki saya pun harus belepotan lumpur sebelum tiba kembali di atas. Khairi menanti di atas enggan ikut turun, seraya memberikan isyarat bahwa kita akan segera melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor menuju ke penginapan sebelum hari gelap.