“Mencintai tanah air Indonesia sanggup ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
― Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran.
Ranu Kumbolo tersimak bagai lukisan cat air. Hamparan bukit padang rumput yang kuning cerah menyelimuti cekungan paling masyhur di seantero Semeru ini. Sementara di bawah sana danau yang biru permai seluas lima belas hektar bernaung di bawah kabut tipis.
Lazimnya pagi di telatar Semeru, hamparan Ranu Kumbolo berselimut bunga es. Namun lantaran hujan deras semalam suntuk, lapisan es yang biasa menaungi danau ini tidak nampak, digantikan oleh hamparan air hijau permai bertudung awan yang sesekali bergerak cepat, turun, kemudian menghilang.
Pagi itu kami berjalan menyusuri tepian danau yang terletak di ketinggian 2.390 meter dari permukaan air laut ini. Apa lagi kalau bukan untuk mengambil gambar. Kebetulan pada satu sisi Ranu Kumbolo terdapat beberapa batang pohon yang melintang ke tengah danau, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai objek pemotretan.
“Itu tanjakan cinta,” celetuk Pak Arif seraya menunjuk ke sebuah bukit yang rumputnya nampak hancur lebur seperti baru saja dirangsek serombongan alay, “Dahulu ada satu jalur ke atas tetapi karena banyaknya pendaki sekarang jadi ada delapan jalur. Kata orang-orang sih kalau naik ke sana dan menoleh ke belakang nggak bakal dapat jodoh.”
Saya hanya tertawa kecil mendengar celoteh dari Pak Arif. Pagi itu kami pun bergerak bersama-sama mendaki perbukitan yang terletak tepat di sisi Ranu Kumbolo. Untuk menghindari kerusakan lebih lanjut, pihak Taman Nasional sudah membuka jalur baru yang agak memutar dengan pemandangan yang lebih cantik. Jadilah kami berfoto-foto lagi di sana sembari membawa bendera merah putih.
Demikianlah kami tiba di ambang bukit berumput kuning ini. Dari atas sini Ranu Kumbolo nampak terhampar luas dikepung barisan bukit cantik yang terserak di lereng Gunung Semeru. Ingin rasanya melewatkan lebih banyak waktu di tempat ini, namun sayang siang ini kami harus segera kembali ke Malang.
“Jangan lama-lama di sini,” ajak Pak Arif lagi, “Siang ini kita harus beres-beres dan berjalan turun. Kalau terlalu sore nanti hujan dan medannya akan terasa jauh lebih berat. Mungkin lain kali kalau kalian mendaki lagi, kita bidik untuk sampai ke Puncak Mahameru di atas sana.”