Bulalo La Limu O Tutu. Danau yang diturunkan dari jeruk surgawi. Sebuah ungkapan yang janggal namun romantik untuk menggambarkan sosok Danau Limboto, permata tanah Gorontalo.
Enam dekade lewat, Presiden Soekarno pernah mendaratkan pesawat amfibi Catalina di permukaannya yang kalem. Kemudian dari sana beliau dijemput oleh sebuah rakit untuk diantar ke tepian. Kunjungan monumental tersebut menginisiasi sebuah museum kecil yang kini teronggok berdebu di paparan danau dan melewatkan sebagian besar hari-harinya dalam kesenyapan.
Saat ini Danau Limboto menjalani masa-masa terberat. Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Profesor Jasssin Tutoli lima tahun silam menemukan adanya pendangkalan akut. Kedalaman di beberapa bagian danau hanya menyentuh margin satu setengah meter, dengan pendangkalan tiga puluh centimeter per tahun. Dengan tolok ukur sepanjang penggaris itu per tahunnya, barangkali bagian-bagian danau yang diteliti Profesor Tutoli setengah dekade silam sekarang sudah lenyap.
“Apabila tidak ada perlakuan khusus, danau ini akan lenyap dalam lima belas tahun,” ucap seorang bapak tua berseragam pegawai negeri sipil yang duduk bersama saya siang itu.
Pikiran saya melayang ke Danau Pangkalan di Jawa Barat, sebuah danau yang lenyap dua dekade silam. Lenyap begitu saja dari peta Jawa Barat. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi kepada Danau Limboto. Memancing, berperahu, atau mengamati teratai di danau ini boleh jadi lambat laun menjadi histori urban apabila proses pendangkalan ini tidak dihentikan.
Dari atas bukit saya menatap hamparan air yang berebut dengan sebaran enceng gondok. Tanaman air ini adalah salah satu aktor utama dibalik pendangkalan danau. Pasalnya akar-akar vegetasi berdaun lebar ini menarik lumpur, memicu pengendapan tanah.
“Sebenarnya kalau mau diperbaiki bisa kok. Oh ya, kamu cobalah ikan payangga dan manggabai, asli dari danau ini,” pungkas bapak tadi. Saya hanya terdiam menatap legenda jeruk kahyangan yang kini pasrah berharap ada yang tergerak untuk menyelamatkan.