Hamparan hijau toska menghiasi pemandangan. Dinding-dinding karang berdiri tegak lurus mengurung luasannya. Gua-gua purba di sela-selanya adalah memoar akan kehidupan manusia pre-historis. Danau Napabale juga mengingatkan saya kepada Danau Kakaban di Kalimantan Timur, airnya asin.
Kami berkunjung ke Pulau Muna pada saat yang tidak tepat. Sebuah sengketa etno-politis belum lama pecah di Raha, kota terbesar di Muna, menelan korban jiwa. Namun apa lacur, kami baru mengetahuinya ketika sudah kepalang basah setengah perjalanan ke sini.
Keasinan Danau Napabale mampu dijelaskan lewat keberadaan sebuah terowongan alami sepanjang tiga puluh meter yang menghubungkan danau ini dengan laut lepas. Pada musim kemarau, tatkala air surut, terowongan ini dapat dilintasi. Bahkan lorong air ini menjadi lintasan permanen bagi para nelayan yang berniat untuk melaut.
“Jauh di sana di Desa Mabolu,” lanjut Hajar, pengojek yang mengantar kami, “Ada gua purba namanya Gua Leang Kobori. Untuk ke sana kita harus jalan lagi beberapa kilometer.”
Secara harafiah, Leang Kobori berarti lubang tulis. Gua purba yang satu ini terang mendapatkan namanya dari simpanan coret-moret manusia pra-sejarah di luasan dinding-dindingnya, mirip seperti Leang-Leang di Makassar. Bukan seperti jalan-jalan di taman tentu saja. Untuk mencapainya kita perlu meyusuri jalur bersemak sejauh enam kilometer yang diapit tebing-tebing karang yang curam. Gua Leang Kobori sendiri terselip di ketinggian tiga ratus meter dari permukaan laut, dalam sebuah lekuk kapur yang sepi.
“Kapal menuju Bau-Bau akan tiba sore ini,” seru Rudy dari tepi danau yang jauh, “Kita sepertinya harus kembali ke pelabuhan sekarang!”
Memang hari belum sore. Namun kami tidak ingin mengambil resiko karena kesempatan menumpang kapal menuju ke Bau-Bau hanya tinggal satu kali. Hajar pun kembali menggeber sepeda motornya, saya menumpang di belakang sambil membidikkan kamera di sepanjang lintas pedesaan. Belum puas rasanya menikmati danau yang indah itu.
Nokesa Sipaliha, indah sekali, Danau Napabale.