Anak Bugis itu bermimpi mengambil jurusan hukum di Universitas Hasanuddin. Meskipun sebentar lagi dia lulus SMA, mimpi tersebut masih terasa begitu jauh. Dengan agak terseok-seok dia menyimpankan tas saya di gudang, sementara saya beranjak ke atas rakit kecil yang terombang-ambing dihentak arus dan riak-riak kecil Sungai Amandit.
Perjalanan dua jam di paparan rakit bambu itu terasa singkat. Pemandangan indah Pegunungan Meratus membuat saya dan Aci, gadis yang baru saya kenal semalam, pun lupa waktu. Arak-arakan mega putih menemani obrolan kami berdua mengenai perjalanan yang pernah dilakukan selama ini.
Masyarakat Loksado hidup dari sungai. Mulai dari mencuci, mandi, hingga buang air besar dilakukan di tepi sungai. Ketika perahu jadi-jadian kami melintasi beberapa rumah, seorang ibu muda yang sedang asyik buang air besar tiba-tiba berdiri dan menutupi pantatnya. Nampaknya dia cukup terkejut dengan kehadiran kami yang tiba-tiba lewat di depan hajatannya.
Rumah-rumah yang berdiri di tepi sungai juga ditemani dengan rakit-rakit bambu di depannya. Sangat unik memang, ibarat kita memarkir sepeda motor di depan rumah, mereka memarkir rakit bambu!
Rakit bambu, atau orang Meratus senang menyebutnya lanting paring, seakan sudah menjadi kendaraan primer selain sepeda motor. Bagi Loksado yang senyap dan posisinya tersempal di ketiak Pegunungan Meratus, kendaraan sangat penting untuk membantu mereka menggapai kota Kandangan, yang mana kepadanya mereka masih menggantungkan ekonominya.
Namun bagi Aci dan saya pada pagi itu, rakit bambu adalah sebuah pengalaman baru sekaligus mediator untuk melesak lebih jauh ke sudut-sudut cantik Pegunungan Meratus.