Jedar! Kemudian hanya terlihat putih beberapa detik. Telinga berdengung. Saya berpegangan pada batang pohon yang sedari tadi saya duduki. Angga membelalak setengah terngaga. Wahyu dan saya masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi di bawah batang-batang pinus yang berayun lebih kencang daripada seharusnya.
Ya. Kami baru saja nyaris disambar petir di siang bolong. Di puncak Gunung Tujuh, tatkala kami sedang duduk-duduk beristirahat, petir menyambar salah satu pucuk cemara yang terletak tidak jauh dari tempat di mana kami melepas lelah.
Tangan saya masih menggenggam erat batangan pohon yang saya duduki. Kami bertiga belum sempat berkata-kata apapun, sementara sisa tim yang sudah berada di sisi danau mungkin tidak tahu apa yang hampir saja menimpa rekan-rekan jalan mereka sesaat yang lewat.
“Tadi itu petir?” suara parau Angga memecah kesunyian.
“Sepertinya sih begitu,” saya menjawab dengan ragu-ragu meskipun sebenarnya saya yakin benar itu petir, “Kayanya kena di atas salah satu pohon sebelah situ.”
Tanpa lanjut diskusi. Seakan dikomando, kami bertiga berdiri serentak dan angkat kaki. Saya tidak peduli dengan ransel basah dan kaki yang sudah lecet-lecet bermandi lumpur. Satu-satunya yang kami pikirkan saat itu adalah minggat secepatnya dari zona petir.
“Wah, tadi sepertinya dekat sekali,” ungkap Angga, baru berani mulai bicara lagi ketika kami telah hampir sampai ke tepi danau. Memang begitu. Nyaris. Nyaris saja.