Shopping di Pasar Terapung

Wajahnya berseri-seri tatkala melihat sampan kayu ini mendekat. Kakek tua itu nampaknya mengendus bahwa pada pagi buta ini ia akan segera mendapatkan pembeli pertamanya, bagi ikat-ikat rambutan yang ada di lambung perahu. Entah berapa ikat rambutan merah ditumpuk rapi, dijajakan di pasar terapung.

“Lima ribu. Seikat lima ribu,” kata kakek itu sembari menerima selembar uang pemberian saya. Dengan sumringah dia mengambil seikat rambutan yang hanya berisi sepuluh sebelas butir dan menyerahkannya kepada saya. Jadilah pagi hari itu sarapan pertama saya rambutan.

Ketika pertama kali memulai perjalanan berkeliling Indonesia, saya senantiasa mengingatkan diri sendiri untuk hidup berhemat lantaran perjalanan masih panjang. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan karier, saya semakin terdorong untuk menghabiskan uang. Keep spending. It’s what makes the economy running. Karena hanya dengan mengeluarkan uang, kita membantu pemerataan ekonomi. Dari Jakarta ke daerah-daerah. Dari strata atas ke strata bawah.

Bagi ibu-ibu dan bapak-bapak penjaja di pasar terapung ini, terus terang masa depan mereka mungkin sudah tidak ada di atas perahu. Sejalan dengan semakin mudahnya akses transportasi di Kalimantan, perdagangan berpindah dari permukaan sungai ke permukaan tanah. Pasar-pasar darat dibangun menggantikan pasar-pasar terapung.

Demikian pula animo para pembeli lambat laun menurun, semakin lama mungkin hanya tersisa pedagang uzur yang bisnisnya tidak diteruskan generasi berikutnya. Singkat cerita, kedatangan wisatawan seperti kami adalah tumpuan harapan mereka.

Inilah media jual-beli masyarakat Banjarmasin selama ratus-ratus tahun, pasar yang bergerak mengikuti aliran sampan para pedagangnya. Teruntuk para pelancong, ini adalah sebuah eksotisme. Teruntuk para pedagang, ini adalah penghidupan itu sendiri.

Riuh pasar terapung pagi itu begitu melenakan. Aci dan saya berkapal di atas sampan kayu, meliuk-liuk melewati sela-sela ratusan perahu yang simpang siur. Sementara kesemuanya bergerak lambat-lambat mengikuti aliran Sungai Martapura. Entah masih berapa lama lagikah budaya ini bertahan, besar harapan saya untuk melihatnya jauh di kemudian hari, semoga saja.