Gedung Merdeka senantiasa akrab dengan pergaulan. Jauh sebelum eksistensinya sebagai latar belakang selfie anak muda Kota Kembang, gedung yang dahulu bernama Societiet Concordia ini sudah menjadi tempat pesta pora meneer Belanda.
Di sinilah para saudagar Belanda, pria dan wanita, muda dan tua, berbaur dalam pergaulan kelas atas. Dan demikianlah keseharian gedung tua ini dibalut rasisme akut, karena konon hanya orang kulit putih yang diperkenankan masuk ke dalamnya. Ras lain harus berpuas diri untuk mendengar dari luar dentum musik di lantai dansa.
Sepanjang De Grote Postweg bertaburan hotel-hotel mewah. Acapkali para saudagar dan pejabat Belanda berpesta pora hingga mabuk. Mereka terlalu mabuk untuk pulang ke rumah sehingga akhirnya melepas malam di hotel-hotel mewah tersebut. Jangan heran apabila di kemudian hari, Savoy Homann dan Grand Preanger menjadi semacam ikon bagi perhotelan Bandung.
Seiring perkembangan zaman, era Republik memutarbalikkan kodrat gedung ini. Gedung Merdeka yang tadinya menjaga jarak dari kaum ras berwarna, justru menjadi episentrum bagi pergerakan bangsa-bangsa Asia-Afrika setengah abad silam. Yang mana tujuan utamanya adalah mendobrak hegemoni bangsa kulit putih.
Siang hari itu saya berkesempatan buat menyusuri sudut-sudut Gedung Merdeka. Mengunjungi museumnya dan berdiri di atas panggung yang menjadi saksi bisu Konferensi Asia-Afrika abad lampau. Nuansa perjuangan itu masih terasa, diwakilkan oleh barisan bendera negara-negara Asia-Afrika yang berjajar rapi.
Anak-anak muda nampak berfoto di halaman depan gedung tua ini. Mungkin mereka abai bahwa Gedung Merdeka pernah menjadi Societiet Concordia yang digandrungi orang-orang terpandang pada masanya. Teruntuk sebagian besar orang, desain art-deco gedung ini sebenarnya lebih dari cukup untuk menjadikannya latar belakang fotografi.