“Kami ada ibadah tutup tahun, bapak ikut saja bersama kami,” ajak Pak Mateos Anin, kepala suku di Fatumnasi kepada saya malam itu. Memang malam itu adalah malam tahun baru dan saya terkurung di desa pedalaman ini tanpa barang satu kembang api pun dalam kesunyian malam pekat.
Selepas pukul delapan malam, Pak Anin memberikan selembar kain Timor berwarna kuning cerah untuk saya. Kain tersebut saya kenakan laiknya sarung, kemudian diikat di bagian pinggang dengan menggunakan selembar kain berwarna merah. Sebelum saya beranjak pergi, Pak Anin memberikan selembar kain berwarna hitam untuk saya kenakan sebagai syal.
Perjalanan menuju gereja tidak terlampau jauh, barangkali hanya lima ratus meter. Namun untuk mencapainya harus ekstra hati-hati lantaran di malam gelap seperti ini boleh dibilang jalanan Fatumnasi nyaris tanpa cahaya. Mendung yang menggelayut juga turut menutup cahaya rembulan sehingga melihat kaki sendiri pun saya sudah tidak sanggup.
Satu-satunya cahaya yang saya andalkan untuk membantu perjalanan ini adalah sebuah senter kecil yang kerap diledek teman-teman saya sebagai “merchandise dari Hoka Hoka Bento”. Untuk ponsel nampaknya tidak terlalu banyak membantu lantaran saya belum mendapatkan kesempatan untuk mengisi baterenya.
Tidak berapa lama saya tiba di Gereja Ebenhaezer, nampak sekitar seratusan orang berkumpul di sana. Duduk rapi. Saya mengekor Pak Anin masuk ke dalam gereja dan sebagai kepala suku Pak Anin duduk di baris depan.
Ibadah berlangsung selama kurang lebih tiga jam dan ditutup dengan makam malam bersama. Lantaran saya pergi bersama Pak Anin, saya mendapatkan kesempatan untuk makan di kursi tamu undangan. Menunya nasi bungkus dengan lauk sederhana, bakmi dan segumpal daging sapi, yang sudah barang tentu merupakan agak mewah di sini.
Saya berbincang cukup banyak dengan Pak Pendeta seusai kebaktian. Ada banyak inisiatif dari Fatumnasi untuk menggunakan gereja sebagai media saling membantu antar-warga, utamanya mereka yang membutuhkan bantuan sosial. Tidak terasa satu per satu jemaat sudah mulai pulang hingga tersisa setengah lusin kami saja.
Pak Anin berpamitan kepada Pak Pendeta dan teman-temannya. Kami berdua pun kembali berjalan melalui jalanan berbatu menembus pekatnya malam Fatumnasi.