Dari Desa Cepogo saya tidak berpapasan dengan satu kendaraan pun. Barangkali memang lintasan ini tidak selazimnya dilintasi pada hari Rabu siang. Di sepanjang perjalanan saya hanya menggeber sepeda motor mengaspal jalan raya sempit yang memangkas melalui pasase irisan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Saya menghentikan sepeda motor di tepi ngarai. Gunung Merapi nampak angkuh berdiri di seberang sana berpayung awan tipis yang seakan tidak beranjak dari tempatnya sedari tadi. Inilah Desa Selo, kelanjutan dari Desa Cepogo, yang mana menjadi altar favorit bagi penikmat penampakan Gunung Merapi, salah satu volkano paling aktif di planet ini.
Desa Selo selazimnya juga menjadi titik tolak bagi para pendaki yang ingin menaklukkan Gunung Merapi. Memori saya berputar balik ke masa-masa sekolah dulu ketika kami beramai-ramai mendaki dan menaklukkan puncaknya. Lantaran gunung ini kerap meletus, lanskap dan wujudnya pun senantiasa berubah dari masa ke masa. Barangkali apabila saya melakukan pendakian ulang pada hari ini, saya tidak akan ingat lagi trek lama yang pernah saya daki pada dekade silam.
Bicara ihwal nasib desa-desa sekitar Gunung Merapi tidak ada yang bisa menebak. Pada medio 1970-an, Desa Kaliurang merupakan titik tolak paling populer bagi para pecumbu gunung ini. Namun letusan pada tahun 1980-an yang lebih banyak menghantam punggung selatan lereng Merapi membuat Kaliurang kehilangan preferensinya dari Selo hingga saat ini.
Sampai kapan Selo menjadi favorit juga sulit untuk diterka. Runtuhnya Geger Boyo sepuluh tahun silam juga membuat sedikit banyak arah letusan dan leleran lava Gunung Merapi lagi-lagi berubah. Bukan mustahil di masa mendatang para pecumbunya harus mencari titik tolak yang baru lagi.
Setengah jam saya berdiam diri di tepi jurang. Matahari pagi yang masih mengambang rendah di timur menghapus nafsu saya untuk terburu-buru. Perjalanan dari Kota Solo saya lanjutkan lagi, sepeda motor kembali saya pacu melintasi aspal mulus jalanan yang teduh ini. Sebelum tengah hari, saya akan tiba di Kota Magelang.