Mendung menggulung-gulung sementara matahari sudah tidak nampak. Perahu kayu yang tadinya akan bersandar di Pelabuhan Kolonodale kami minta berbelok sebentar ke pulau sebelah. Ada air terjun di sana.
“Anggap saja ini bonus,” gerutu Opa pengemudi perahu yang saya tanggapi dengan nyengir. Kami singgah di sebuah pulau kecil yang terletak tidak jauh dari Kota Kolonodale. Bahkan kalau mau dibilang, sebenarnya pulau dengan hutan yang rimbun pekat ini terletak tepat di seberang kota itu.
Saya menyalakan senter sekenanya. Hanya ada satu senter dengan cahaya yang mati segan hidup tak mau. Namun apa boleh buat memang kondisi ini tidak kami antisipasi sebelumnya. Kami pun berjalan beriringan memegang senter masing-masing menyusuri hutan rimba yang lebat sembari memasang telinga erat-erat, mencari suara air terjun.
“Tidak ada sepertinya,” celetuk Rusli, “Airnya kering.”
Benar saja. Saya tiba di sebuah cekungan yang dikurung oleh tebing-tebing berlumut. Tidak nampak air yang mengalir dari atas sana, hanya ada rembesar basah di sela-sela lumutnya. Rusli berjongkok di atas batu besar, kemudian melongok ke bawah. Air menggenangi kolam alam yang dalamnya mungkin hanya sekitar satu setengah meter itu.
“Air terjun kecil di sini jarang ada kalau tidak hujan,” terang Pak Gatot ketika kami berjalan kembali ke perahu, “Kalau sudah lama tidak hujan biasanya airnya pun habis.”
Sayang sekali. Padahal langit malam ini mendung cukup gelap. Mungkin esok hari air terjun ini bakal muncul. Sayangnya kami belum punya kesempatan untuk menyaksikan air terjun tersebut lantaran esok pagi kami sudah harus bergegas kembali menuju ke Soroako. Selebihnya biar itu menjadi rasa penasaran yang akan membawa saya kembali ke tempat ini di kemudian hari.