Tuing-Tuing, Ikan Terbang Diasap

Namanya tuing-tuing. Andai bukan karena tiga orang berbeda menyebut namanya, saya mungkin susah untuk percaya. Dugaan akan gejala onomatopoeia pun buru-buru saya tepis dari benak. Lagipula sejak kapan ada ikan bersuara ganjil seperti itu?

Memang apalah arti sebuah nama. Namun teruntuk seorang pejalan lepas seperti saya, semakin janggal namanya maka semakin menggoda untuk dicoba. Jadilah saya singgah di sebuah kedai reyot di pelipiran pantai Majene, memesan hidangan lokal yang namanya tuing-tuing itu hanya atas dasar rasa penasaran.

Ikan terbang. Tidak salah lagi. Ikan Indosiar, celetuk si ibu penjualnya. Di Majene, ikan terbang menjadi hidangan kardinal yang diasap di atas kayu membara. Entah karena populasinya terlalu berlimpah, atau karena overestimasi terhadap kapasitas lambung, sebakul penuh ikan tuing-tuing beraroma semerbak disodorkan di hadapan batang hidung saya.

Kulit ikan tuing-tuing liat seperti persilangan antara plastik bungkus permen dan kulit salak. Usaha saya untuk mengunyahnya menjadi adegan gagal yang komikal. Tentu saja. Memang prosedur baku untuk menyantap ikan ini adalah kulitnya harus dikupas dahulu, barulah kemudian dagingnya diambil. Tidak seperti kulitnya, daging ikan tuing-tuing justru lunak berserat. Namun karena dimensi tubuhnya yang kecil, perlu tiga ekor untuk mendampingi sepiring nasi.

Masyarakat Majene menganggap ikan tuing-tuing sebagai delikasi signaturistik. Apalagi jika dipadukan dengan jepa, kuliner pedas khas Mandar. Bagi saya ini bukan sekedar pemuas rasa penasaran, namun juga sebuah sambutan yang sempurna dari Tanah Majene.