Pada mulanya saya kira mereka bercanda. Sepasang suami istri itu menunjukkan kepada diri saya bagaimana mereka menangkap ikan dengan mudah. Hanya dengan melempar jaring kecil, seekor ikan besar seukuran lengan dijerat dengan mudah, kemudian disimpan di kolom yang terletak di bawah papan kecil perahu kayu kami.
“Dua ribu rupiah saja,” celetuk si ibu sambil tertawa ringan. Bukan. Bukannya mereka tidak paham nilai uang. Namun menangkap ikan di perairan ini memang begitu gampang sehingga harganya pun sangat murah. Bukan “menangkap ikan”, lebih tepat jika saya sebut “mengambil ikan”.
“Kita apakan ikan ini?” tanya saya kepada Pak Inyong. Dipanggilnya dua orang sahabatnya yang sedang sibuk memanjat pohon kelapa dan mereka berbicara dalam bahasa lokal yang saya juga tidak paham hal ihwalnya.
Tidak lama kemudian, beberapa batang kayu disusun di tepi pantai. Dengan bermodalkan griller do-it-yourself ini kami pun memasak ikan bakar. Percayalah. Ikan segar yang ditangkap langsung dari laut lepas tidak membutuhkan bumbu, rasa dan aromanya sudah cukup sedap.
Tidak ada bumbu dapur, bahkan sekedar sambal sekalipun. Namun ikan yang kami santap siang itu terasa begitu memuaskan. Apalagi setelah dipungkas dengan minum air kelapa.
“Mau ke mana lagi kita?” tanya Pak Inyong memecah lamunan. Entahlah. Saya yakin itu sebatas pertanyaan retorika lantaran dia pasti lebih tahu daripada saya.
“Saya tidak tahu,” jawab saya sesuai yang diduga, “Mungkin kita ingin melihat perairan yang lebih dangkal untuk melihat kehidupannya?”
Pak Inyong tidak menjawab. Kami melangkah kembali menuju perahu kayu. Saya tidak memakai kembali baju yang baru saja ditanggalkan dan tetap bertelanjang punggung di bawah jerangan matahari yang sedemikian ganas. Siapa peduli.