Tukang ojek yang berniat membawa saya pulang dari Dermaga Sei Jepun itu menepikan sepeda motornya lewat pintu gerbang Islamic Center Nunukan. Dua orang petugas yang duduk di pos penjagaan berdiri melongokkan kepalanya dari jendela pos. Saya melambaikan tangan ke arah mereka berdua kemudian memberi isyarat kepada si pengojek untuk berhenti sejenak.
“Mau foto-foto boleh, Pak?” tanya saya setengah berteriak dari seberang.
“Oh, boleh!” balas salah satunya, “Silakan saja masuk, Bang!”
Islamic Center Nunukan bukanlah masjid medioker. Ukurannya masif. Bahkan dari seberang Pulau Sebatik pun masjid raksasa ini nampak menghiasi lanskap Pulau Nunukan. Islamic Center yang dinamai Hidayatur Rahma, Petunjuk dari Maha Pengasih, ini memang baru dibuka pada tahun lalu sebagai masjid terbesar di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Kapasitas masjid raksasa ini mencapai delapan ribu orang jemaat, atau sepuluh persen dari total penduduk Kota Nunukan. Sementara total penduduk di Kabupaten Nunukan pun hanya seratus lima puluh ribu. Menarik memang.
“Sesudah Islamic Center, nanti juga akan ada Christian Center,” terang petugas keamanan yang bertubuh kurus kepada saya, “Christian Center akan terletak di sebelah selatan sana. Dua-duanya diharapkan menjadi ikon bagi keharmonisan kehidupan beragama di Nunukan.”
Meskipun sepintas saja terlihat tidak lebih dari sebuah proyek mercu suar namun proyek-proyek seperti ini mampu menjadi totem yang melambangkan percepatan pembangunan di sudut-sudut Indonesia. Dengan adanya Islamic Center ini misalnya, pemerintah Nunukan membangun jalan tembus beraspal yang menghubungkan Sei Jepun dengan pusat kota Nunukan yang nantinya akan menggerakkan perekonomian di pesisir timur pulau.
Saya memanggil bapak tukang ojek yang sedari tadi menunggu di bawah. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke pusat kota. Gedung-gedung besar nampak sedang dibangun di sepanjang pesisir timur pulau ini. Benar. Nunukan memang sedang berdentum.