Majene terhampar jelas di bawah sana. Ini adalah titik tertinggi Majene, Bukit Salabose. Salabose bukan sebatas arena penatapan. Bukit ini punya ikatan sejarah kental dengan masa kejayaan Kerajaan Banggae dan masuknya Islam ke tanah ini.
Syekh Abdul Manan, nama beliau. Tokoh pembawa ajaran Islam di Majene pernah memimpin penyebaran agama di puncak bukit ini lima abad silam. Setiap tahun, pada hari kelahiran Nabi, ribuan warga akan berbondong-bondong mendaki bukit ini untuk berebut berkah Maulid. Sebuah ritual yang dipertahankan selama berabad-abad.
Tidak hanya berkaitan dengan Islam, Bukit Salabose juga erat dengan Kerajaan Banggae. Beberapa Raja Banggae secara khusus dimakamkan di bukit ini, terpisah dari makam familinya di Buttu Ondongang. Ada keyakinan masyarakat Majene bahwa Bukit Salabose merupakan tempat paling tinggi dan paling pantas untuk menjadi peristirahatan akhir seorang raja di Majene.
Tidak jauh dari makam Syekh Abdul Manan, berdirilah masjid tertua di Sulawesi Barat, Masjid Salabose.
Empat abad lamanya masjid tersebut berdiri. Meskipun telah mengalami restorasi yang tidak terhitung banyaknya, beberapa bagian masjid yang masih dipertahankan keasliannya. Onie meminta izin kepada kepala kampung dan mengajak saya melihat-lihat bagian dalam masjid bersejarah ini.
Salabose memang bukanlah nama yang dikenal di luar Sulawesi. Namun di Sulawesi Barat, khususnya Majene, nama Salabose adalah signatur sebuah kesakralan. Kunjungan ke Bukit Salabose ini sekaligus menjadi pamungkas bagi perjalanan saya selama dua hari di Majene. Siang ini saya harus melanjutkan perjalanan ke Polewali, kota paling selatan di Sulawesi Barat.