Menyusur Tanah ke Bungin

Debu-debu setapak dan panas terik matahari berbaur menjadi satu siang itu. Namun Ferdi dengan penuh percaya diri menggeber sepeda motornya melintasi jalanan desa yang berbatu kerakal di seluar simpang Alas. Laluan demi laluan yang kami susuri berpenghujung pada sebuah sungai semenjana yang mengalir ke laut lepas.

Dan demikianlah pada akhirnya kami tersasar.

Beruntung ada seorang bapak yang sedang bekerja memotong kayu tidak jauh dari sana. Dari informasi bapak itulah kami menemukan jalan sebenarnya untuk mencapai Pulau Bungin. Sederhana saja, ternyata kami telah melewatkan sebuah tikungan di percabangan jalan.

Di luar kesasaran tadi, menggapai Pulau Bungin tidaklah sulit. Pulau yang sangat padat ini terpapar jelas dari seberang lautan sehingga patokan untuk mencapai daerah ini pun cukup jelas. Selebihnya menyusuri liku-liku di himpitan jalan desa yang hanya selebar mobil ini menjadi kesenangan tersendiri.

Jalan menuju Pulau Bungin masih jauh dari kata layak. Jangankan beraspal, menemukan batu yang cukup keras untuk mengalasi tanahnya pun kami sudah bersyukur. Mayoritas dari akses jalan yang menghubungkan antara Pulau Bungin dengan Desa Alas adalah tanah merah, yang tatkala hujan sudah barang tentu akan becek berlumpur.

Meskipun didapuk sebagai sebuah pulau terpisah dari daratan Sumbawa, untuk mencapai Pulau Bungin kita tidak membutuhkan perahu lantaran pulau ini sudah terhubung oleh sebuah jembatan. Jembatan dengan permukaan tanah merah ini menjadi urat nadi bagi Pulau Bungin dalam aksesnya dengan daratan utama Pulau Sumbawa.

“Saya tidak tahu ada apa yang bisa dilihat di sini,” ungkap Ferdi yang terus terang bukan pernyataan yang saya harapkan dari seorang pemandu perjalanan, “Tetapi nanti kita bisa makan siang di tengah laut sana.”