Udara dingin menyeruak. Kabut mulai turun. Sementara saya masih terpaku seorang diri di tepi jalanan sepi Kabupaten Minahasa. Sudah tiga jam saya berada di sini penuh harap akan ada mobil melintas yang berbaik hati memberikan tumpangan. Jarang sekali ada mobil yang melintas di sini, lebih jarang lagi yang bersedia memberikan tumpangan kepada gembel lusuh ini.
Tiga jam saya habiskan untuk membolak-balik gambar di kamera. Kalau sudah selesai, ulangi lagi dari awal. Begitu seterusnya sampai ada yang membawa saya keluar dari tempat ini.
Akhirnya mobil yang ditunggu-tunggu itu melintas. Mobil gerobak sayur. Terang saja bentuknya jauh dari elok, namun keelokan adalah faktor nomor sekian dalam situasi seperti ini.
“Kamu ke mana? Saya mau ke Lahendong,” tanya si sopir melongokkan kepalanya keluar.
“Ikut saja. Turunkan saya di tempat kendaraan umum,” sahut saya sambil melompat ke bak belakang.
“Bagus. Kasih tahu saja kalau mau turun. Kalau nanti ada polisi sembunyi saja di bawah terpal. Polisi sini senangnya tilang-tilang yang naik di belakang,” sahutnya enteng. Mobil pun kembali bergerak menuju ke Lahendong. Entah di mana itu. Saya diam di bak terbuka, sementara gerimis mulai mengguyur.