Di bawahnya bukan sungai. Melainkan jalan raya. Tepatnya Jalan Ahmad Yani yang ramai tepat di episentrum kota Bukittinggi. Jembatan Limpapeh membentang sepanjang sembilan puluh meter, menghubungkan Fort De Kock dengan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan.
Pada medio bulan puasa seperti ini, arus lalu lintas tidak ada tanda-tanda mereda. Kerunyaman dan keberisikan di bawah sana semakin hari semakin akut, berbaur dengan asap knalpot angkot yang mengepul di mana-mana. Namun di atas sini seakan-akan saya dipisahkan oleh selembar sekat transparan, sunyi sendiri.
Pada bagian tengah jembatan terdapat sebuah bangunan bergaya Minangkabau yang menopang kedua sisi jembatan ini, dari atapnya kita dapat melihat seantero kota Bukittinggi. Dari kolomnya saya melihat Jam Gadang di kejauhan dengan latar belakang Gunung Singgalang yang elok.
“Sekarang sudah dekat dengan Idul Fitri, Pak,” teringat saya kepada ucapan bapak penjaga hotel tadi pagi, “Kota ini semakin dekat dengan Idul Fitri maka akan semakin rame.”
Tidak salah. Idul Fitri tinggal empat hari lagi, jalanan Bukittinggi semakin lama sudah semakin ruwet dengan angkot-angkot yang berdesakan seperti ikan sarden. Tidak hanya kendaraan yang terlihat ramai, kompleks Jam Gadang pun terlihat riuh rendah karena saking banyaknya manusia.
Barangkali kebun binatang kota ini adalah satu-satunya tempat yang masih agak bisa ditolerir lantaran sudut-sudutnya masih banyak yang sepi. Berjalanlah saya menyusuri rentang Jembatan Limpapeh, meninggalkan pusat keramaian ini menuju ke sebuah kios penyedia jasa mobil travel yang kumuh dan bau asap rokok tidak jauh dari pasar.
“Pak, bisa bantu saya carikan kendaraan untuk ke Padang esok pagi?” tanya saya kepada seorang pria setengah baya yang duduk di hadapan komputer tua. Saya tidak punya pilihan, saya harus segera meninggalkan Bukittinggi menuju ke Padang apabila tidak ingin kesulitan keluar dari kota ini nantinya.