Kapal bergoyang pelan, kemudian mepet di salah satu dinding karang. Diam. Di bawah sana saya bisa melihat air jernih nyaris tembus pandang dengan segala renik-renik kehidupan lautnya.
Meskipun sama-sama terdapat di perairan Pulau Waigeo, Teluk Kabui lebih gampang dijangkau melalui laut dari Waisai. Hal ini lantaran akses lintasan darat belum tersedia. Dari Waisai ke arah Teluk Kabui masih dihiasi hutan lebat yang tidak mudah untuk ditembus kendaraan.
Matahari tepat di atas ubun-ubun ketika perahu kayu zaman penjajahan yang kami tumpangi tiba di Teluk Kabui. Tidak ada seorang pun yang terlihat di perairan ini selaim kami, sehingga seantero teluk ini serasa milik pribadi.
“Di bawah sini banyak ikan kecil,” kata Pak Inyong, “Airnya dangkal. Ikannya warna-warni.”
Saya melongok ke sisi perahu. Dari atas, bawah laut Teluk Kabui terlihat tembus pandang seperti air bak mandi. Namun tentu saja saya tidak dapat melangkah masuk karena khawatir akan menginjak-injak dan merusak terumbu karang yang hidup di landasan ekosistem teluk ini.
Tanpa bicara sepatah katapun, Pak Inyong menghidupkan kembali mesin kapal. Kapal meluncur membelah gugus-gugus kepulauan karang yang terserak tidak beraturan. Sementara mata saya masih terpana memandangi airnya yang nyaris tembus pandang, hingga akhirnya kami berhenti di sebuah karang berlubang.
“Kenapa berhenti di sini, Pak?” tanya saya kepada Pak Inyong.
“Buat ambil foto,” jawabnya santai.