“Inikah perhentian akhir itu?”, saya berusaha memandang jauh melalui jendela buram. Aroma karet menyeruak di kala roda pesawat mungil ini berserempetan keras dengan landas pacu.
Entah apa yang saya cari di Sulawesi Barat. Satu hal yang pasti, pendaratan keras di Tampa Padang telah melengkapi perjalanan ke tiga puluh empat provinsi. Tuntas sudah. Terdengar paradoksal, tatkala memo perdana blog ini justru saya ambil dari sebuah perjalanan pamungkas.
Ini perjumpaan pertama saya dengan Mamuju. Tidak banyak yang orang ketahui tentangnya. Kendatipun merupakan ibukota provinsi, Mamuju belum lepas dari status daerah tertinggal. Lengan Makassar belum lama kala itu seakan tidak berdaya untuk menjangkaunya. Bahkan apabila dibandingkan dua tetangga terdekatnya, Majene dan Polewali, daerah ini pun terbenam dalam ketertinggalan.
Dalam suasana miskin terisolasi, Mamuju sejatinya tidak menyimpan banyak harapan.
Namun sepuluh tahun silam, pendulum berbalik arah. Pemerintah pusat melepaskan Sulawesi Barat dari induknya, Sulawesi Selatan, dan Mamuju lantas mendapatkan kehormatan untuk menyandang status ibukota provinsi. Dana dari Jakarta digelontorkan ke provinsi belia ini. Artinya hanya satu : pembangunan.
Kini akses jalan menuju Majene beraspal mulus seratus empat puluh kilometer, hotel berbintang berdiri di sempadan pantai, dan masjid megah dengan empat minaretnya dibangun di jantung kota. Ada transisi nan masif di kota ini yang didenyutkan oleh semarak pembangunan.
Sore itu saya duduk seorang diri di anak tangga rumah adat. Sesekali angin Pantai Manakarra berhembus menghalau udara panas kota Mamuju. Tidak dipungkiri bahwa pembangunan akan mengubah wajah Mamuju dalam beberapa tahun mendatang, menawarkan kesejahteraan sekaligus menghadirkan permasalahan-permasalahan baru.
Apapun itu, harapan saya sama dengan harapan penduduk kota ini.
Selamat datang di Sulawesi Barat!