Indonesia Kecil di Nunukan

“Angkotnya cuma satu di sini, Mas!” sahut Pak Karso disambung dengan tawa terkekeh, “Bukan kota besar seperti di Jogja. Jadi angkot ya cukup satu dan muter-muter situ.”

Pak Karso berasal dari Wonosari. Sudah lima belas tahun bapak ini tinggal di Nunukan, membawa serta seluruh keluarganya, dan sekarang bekerja sebagai penjaga hotel. Nunukan memang bak Indonesia kecil. Suku Tidung yang merupakan suku asli Nunukan tidaklah dominan di tanah ini, sebagian besar penduduknya justru merupakan orang Bugis dan Jawa yang berlayar dari pulau seberang demi mencari penghidupan yang lebih baik.

Bahkan di Pulau Sebatik, hampir seluruh penduduknya merupakan Suku Bugis.

Hari ini adalah hari pertama saya berada di Nunukan. Kesan pertama yang saya dapatkan ketika mengunjungi jantung kotanya adalah bahwa Nunukan memang tidak terlihat jauh berbeda dari kabupaten-kabupaten lain di Indonesia, cukup makmur meskipun belum dapat dibilang maju.

Kota Nunukan juga berukuran kecil. Meskipun begitu terasa kota ini berkembang pesat. Salah satunya adalah dengan dibangunnya kompleks Islamic Center Nunukan di Sei Jepun berdekatan dengan dua buah gedung megah, Kantor DPRD dan Kantor Bupati. Yang artinya, Nunukan sudah mempersiapkan pertumbuhan kota kecil ini lebih jauh lagi ke selatan meninggalkan lokasi kota lamanya dan membangun sentra di tempat yang baru.

Kabupaten Nunukan adalah salah satu kabupaten garda depan republik ini, berbatasan langsung dengan negara tetangga dalam lekuk-lekuk garis batas negara yang memanjang di kepala Pulau Kalimantan. Bahkan Pulau Sebatik di sisi timur kota ini berbagi wilayah dengan Malaysia terpisah oleh sebuah parit selebar enam meter. Satu pulau, dua negara.

“Kalau melihat Nunukan yang di sebelah sini tentu sudah lumayan maju,” ucap Pak Karso sembari menyiapkan secangkir teh hangat untuk saya, “Tetapi kalau masuk ke sudut-sudut sana, misalnya ke Krayan, akses transportasi masih serba susah.”

Masalah pemerataan itu ada bukan hanya di tingkat nasional, bahkan di tingkat kabupaten pun ketimpangan antar daerah juga masih sering terjadi, apalagi untuk kabupaten seluas Nunukan. Sore itu saya berjalan kaki melintasi alun-alun Kota Nunukan yang ramai dengan anak-anak kecil yang bermain riang. Sementara di seberang jalan nampak Tugu Dwikora berdiri tegak di jantung kota. Selamat datang di teras Indonesia.