Kalau tanya sama khalayak, namanya Solo itu ya wedangan, bukan frappe. Tempatnya ya emperan kaki lima, bukan kafe. Lagunya ya genjrengan wong ngamen, bukan musik pop. Mungkin ndilalah anak muda Solo sekarang banyak duit dan punya pandangan akan tongkrongan gaul nan ideal ala anak-anak Jakarta, ya jadinya kafe-kafe mulai menjamur di Solo.
Orang bilang ini perubahan. Namun ada yang bilang juga kalau ini tren sesaat. Nantinya ya pasti balik lagi wedangan karena memang itu jati dirinya wong solo, kata mereka. Entahlah. Buat saya sih yang pasti sekarang kafe-kafe sudah menjamur di seantero kota.
Dari yang biasa duduk di emperan menikmati asap knalpot, kini pindah ke dalam ruangan dan taman-taman apik yang terus terang rasanya seperti bukan di Solo. Soal rasa makanan tetap enak, sama saja. Soal harganya, itu yang jadi masalah baru. Karena hitung-hitungan dengan kalkulator lama mungkin sudah kurang pas.
Malam kemarin, saya bersama Robert, Christian, dan Astrid nongkrong bareng di salah satu kafe di daerah Manahan. Anggap saja ini reuni anak-anak sekolah dulu. Sementara di seputaran kami anak-anak muda nampak memenuhi tempat ini, mungkinkah memang gaya nongkrong orang Solo sudah berubah? Saya melirik ke seberang jalan, wedangan di trotoar Manahan masih ramai.
Sepertinya belum berubah.