Sebuku dan Sebesi ibarat saudara kembar. Dua pulau kecil yang terletak di Selat Sunda ini menjadi titik tolak teruntuk para pejalan yang merencanakan pendakian Gunung Krakatau. Dari Kota Kalianda, mencapai Pulau Sebesi tidak lebih dari lima belas kilometer namun memerlukan sebuah telusur melintasi pasase paling yang paling tidak terduga di selepas Samudera Hindia.
Selat Sunda bukanlah lautan yang luas. Dapat dimaklumi apabila kekhawatiran akan gelombang besar di celah sempit seperti ini dapat jauh-jauh kita kesampingkan. Namun ternyata tidak demikian. Alih-alih menjaga sikap sebagai perairan yang tenang, Sulat Sunda kerap tidak terduga. Gelombangnya kerap muncul secara tiba-tiba.
Pada pagi itu kami beruntung lantaran selain cuaca cukup bersahabat, lautan pun seakan menyambut dengan kalem. Saya duduk tenang di atap salah satu perahu sembari menatap ke barisan perbukitan yang mengepung perairan ini dari kanan kiri. Pulau Sebuku secara jarak memang relatif lebih dekat dengan Kalianda, namun kami memilih tinggal di Pulau Sebesi lantaran kedekatan pulau tersebut dengan Gunung Krakatau.
Sebagai pulau yang terletak paling dekat dengan Gunung Krakatau purba, sudah barang tentu Pulau Sebesi mempunyai keunikan tersendiri. Pasca letusan Gunung Krakatau, pulau ini ditinggalkan orang. Tidak ada seorang pun yang berani mendekat apalagi mendiami tanah ini lantaran takut akan terulangnya letusan ditambah bumbu-bumbu mistis lainnya. Adapun menjelang tahun 1930-an, Pulau Sebesi kembali dihuni oleh penduduk. Meskipun kini hanya terdapat tiga dusun di sana.
Pulau Sebesi sendiri tidak hanya menggantungkan diri dari pariwisata. Di sini terdapat aktivitas perikanan dan perkebunan yang minor namun cukup untuk menopang perekonomian desa. Salah satu tanaman andalan warga desa Pulau Sebesi adalah kopra.
“Itu pulaunya,” teriak bapak sais kepada saya sembari menunjuk ke sebuah gundukan di seberang lautan tidak jauh dari kami berada. Pulau itu nampak datar dan dirimbuni hutan hijau. Selamat datang di Pulau Sebesi.