Stonehenge Kalimbuang Bori

Di Toraja kami melihat Stonehenge. Lelucon bodoh ini membuat Rudy terkekeh-kekeh sewaktu kami berdua berjalan menyusuri rangkaian menhir menjulang di luasan Bori Kalimbuang. Apabila boleh jujur Bori Kalimbuang tidak kalah misterius dari Stonehenge. Tanah lapang yang terselip di Sesean ini ditaburi seratusan batu menhir berukuran masif yang menjulang tegak.

Masyarakat Toraja menyebut batu-batu megah ini dengan istilah simbuang batu. Setiap menhir didirikan sebagai wujud penghormatan terhadap anggota keluarga terpandang atau bangsawan yang baru saja meninggal. Konon semakin besar ukuran batunya maka semakin penting tokoh yang meninggal tersebut.

Batu-batu raksasa untuk pembngunan menhir di Bori Kalimbuang ini diseret beramai-ramai dari pegunungan batu di Sesean. Setiba di tanah ini, batu-batu tersebut dipahat memanjang hingga berbentuk seperti rudal Tomahawk kemudian diberdirikan di pangkal yang lebih luas. Sepertiga dari bagian batu tersebut tertanam di dalam tanah. Keseluruhan proses ini dapat memakan waktu berminggu-minggu atau bahkan hingga berbulan-bulan.

Di sela-sela baris bongkah menhir inilah terdapat sebuah bangunan bertiang kayu yang disebut sebagai balakkayan. Bangunan ini lazimnya digunakan sebagai tempat untuk membagi-bagikan daging kerbau atau babi usai disembelih pada upacara adat Rambu Solo. Pemuka adat yang disebut to mantawa akan berdiri di sini kemudian meneriakkan nama-nama orang penerima jatah daging secara berurutan sesuai dengan kedudukan sosialnya.

Rudy menemani saya berjalan menyusuri jalan setapak Bori Kalimbuang. Matahari yang rendah di ufuk barat membekaskan bayang-bayang memanjang dari setiap menhir yang memadati tanah yang masih basah usai dibasuh hujan gerimis. Di kiri kanan kompleks ini terlihat beberapa buah tongkonan, ukurannya tidak terlampau besar.

“Bori Kalimbuang sebenarnya bukan nama yang banyak kita dengar ya sewaktu berdiskusi soal Toraja,” ucap saya kepada Rudy yang disambut dengan anggukan ringan, “Padahal saya justru paling suka dengan lokasi ini. Ada nuansa sunyi senyap yang tidak kita peroleh di tempat-tempat sebelumnya. Setidaknya di sini lebih damai.”