Di Satu Sudut Kaliurang

Kaliurang bagi Yogyakarta tiada ubahnya Puncak bagi Jakarta, dengan densitas yang jauh lebih rendah tentu saja. Sudah menjadi semacam kebiasaan bagi saya untuk mengasingkan diri di Kaliurang setiap kali berkunjung ke Yogyakarta. Orang boleh bilang ini mungkin karena sentimen nostalgia, namun kadang saya merasa memang sedang rindu hawa dingin.

Raut telatar tinggi ini sudah banyak berubah. Ketika saya ke sini dua puluh tahun silam, keadaan serba sepi dan halimun pekat masih acap membalut permukaannya. Namun seiring masa berjalan, Kaliurang menjadi semakin ramai dan padat. Ada pula yang berkata bahwa tanah ini tersaput oleh awan panas Gunung Merapi beberapa letusan silam, namun saya tidak pernah memastikan.

Tidak salah apabila saya mengenal Kaliurang justru dari cerita silat Wiro Sableng. Di sana nama Kaliurang kerap disebut-sebut sebagai daerah asal beberapa pendekar yang ditemui sang tokoh utama. Selebihnya, saya akrab dengan Kaliurang lantaran pernah mengunjungi tanah ini ketika masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak dan selanjutnya kunjungan ke sini menjadi seperti setengah rutin.

Sejatinya Kaliurang tidak lebih dari sebuah desa kecil. Dua puluh lima kilometer terpisah ke sebelah utara dari Kota Yogyakarta, tepat di lereng selatan Gunung Merapi. Tempat ini menjadi sangat populer pada medio 1960-an lantaran keindahan pemandangan alamnya dan kesejukan udaranya. Dua hal yang sekarang boleh dibilang sudah agak terkikis.

Sebelum masa-masa hidup dari pariwisata, Kaliurang sempat menjadi medan pertempuran antara gerilyawan Indonesia melawan serdadu-serdadu kolonial Belanda. Pada beberapa tempat terdapat sisa-sisa terowongan peninggalan para pejuang yang hingga saat ini masih utuh tidak diusik. Di tempat yang sama kemudian digelar sebuah perundingan yang dilangsungkan di dalam sebuah griya milik Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menyepakati gencatan senjata.

Pagi itu udara Kaliurang masih samar-samar dingin. Saya berdiri menghadap ke Bukit Plawangan yang dahulu pernah dipergunakan sebagai menara pandang Gunung Merapi. Tidak banyak orang di sana. Seorang diri saya berjalan menyusuri danau kecilnya dan beristirahat pada ambang jembatan. Ketenangan seperti ini sekarang sudah semakin langka.