“Pak, kita berhenti di sini saja!” seru kami kepada sais perahu.
Perahu rapuh yang semenjak tadi tersengal-sengal membelah Sungai Musi itu melambatkan lajunya, kemudian menepi ke dinding sebuah dermaga batu yang terletak di wilayah Ulu Sungai Musi. Inilah Kampung Arab Al-Munawar yang sejatinya berada di luar rencana kami berdua, namun Khairi dan saya hanya butuh sepuluh detik untuk sepakat dengan keputusan impromptu ini.
Seorang bapak tua sedang duduk di teras rumahnya yang terdapat di ambang sungai. Saya mengucapkan salam dan bapak itu membalasnya dengan senyuman. Sesungguhnya saya agak was-was dengan kunjungan ini, apalagi kalau bukan gara-gara pada sebuah kunjungan ke Palembang beberapa tahun silam saya kerap mendapatkan wanti-wanti dari orang bahwa kawasan Ulu Sungai Musi adalah daerah rawan kriminalitas.
Kampung Arab Al-Munawar adalah satu dari sekian banyak perkampungan tua tepi Sungai Musi. Adapun yang membuat distingtif adalah jejak historis kawasan ini sebagai pemukiman pertama bagi masyarakat keturunan Timur Tengah di Palembang. Nama kampung ini sendiri diadaptasi dari nama Habib Abdurrahman Al-Munawar yang merupakan tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di kawasan ini.
Tipikal rumah-rumah yang berada di Kampung Arab ini adalah berbentuk panggung dengan akses tangga pada bagian mukanya, dinding rumah pada umumnya terbuat dari kayu unglen, dan berlantaikan marmer. Sekurang-kurangnya terdapat dua lusin rumah di area perkampungan ini yang mana menjadi milik bagi sekitar 30 kepala keluarga yang menghuni kampung ini.
Yang menarik adalah rumah-rumah di Kampung Arab ini pada umumnya mempunyai jendela yang tinggi-tinggi dan saling berdekatan satu sama lain sehingga mirip seperti barisan jendela. Belum lagi akses masuk menuju ke pintu utama setiap rumah pada umumnya berbentuk tangga mirip istana-istana Melayu. Adapun posisi ruangan utama rumah memang sengaja ditinggikan laiknya rumah panggung sebagai antisipasi terhadap tingkah polah Sungai Musi yang langganan meluap pada masa lalu.
“Dari mana kamu?” tanya seorang kakek uzur berpeci putih sambil menyeringai lebar ketika melihat saya sibuk berfoto-foto di gang kecil yang sepi itu.
“Dari Jakarta, Pak!” jawab saya lugas, “Bapak tinggal di sini?”
Jawaban tersebut memantik diskusi panjang antara kami berdua perihal kampung ini. Ternyata memang ada itikad dari Pemerintah Kota Palembang untuk menjadikan Kampung Arab sebagai satu destinasi wisata. Itulah mengapa sekarang jalan-jalan di gang tersebut sudah mulai dikeraskan dengan batu dan diberi paving, dinding-dinding kayu pada setiap rumah kembali dicat dengan warna-warni mencolok, dan nampaknya sebuah dermaga juga akan segera dibangun.
Tidak disangka, kunjungan impromptu kali ini menghasilkan banyak pelajaran.