Matahari telah bergeser sedikit melampaui porosnya. Terberkas bayang-bayang tegak lurus dari julangan tiang-tiang berkepala burung rangkong di pelataran lapang merah. Rumah Radakng, demikianlah orang Dayak Kanayatn menyebutnya, dibangun masif di jantung kota Pontianak sebagai duplikat akan sebuah kampung Dayak modern.
Tidak selayaknya apabila rumah itu disebut sebagai miniatur, pasalnya panjang Rumah Radakng yang menaungi Jalan Sutan Syahrir ini mencapai 138 meter. Bahkan beberapa sumber mengklaimnya sebagai rumah adat terbesar di dunia.
Di dalam kultur Dayak, Rumah Radakng memang tidak digunakan untuk menampung satu keluarga saja layaknya rumah-rumah di kebanyakan kultur dunia, melainkan satu kampung. Dengan kata lain, Rumah Radakng ini lebih mirip sebuah apartemen tradisional daripada sebuah rumah tradisional. Setiap rumah dapat menampung hingga lima puluh keluarga yang terikat oleh hubungan suku.
Apabila di dalam wujud aslinya rumah ini dibangun dengan menggunakan kayu ulin, Rumah Radakng modern kepunyaan provinsi Kalimantan Barat ini dibangun dengan beton dan semen layaknya bangunan modern. Fungsinya pun tidak lagi untuk menampung keluarga-keluarga Dayak, melainkan lebih sebagai gedung pertemuan dan pertunjukan yang mewadahi aktivitas budaya etnis Dayak.
Connie dan saya berjalan ringan menyusuri kolong rumah yang teduh. Tidak nampak seorang pun penjaga di sana pada siang itu, meskipun terdapat sebuah meja dan buku tamu. Saya pun mengambil pulpen dan membubuhkan komentar di salah satu kolomnya.
“Hari ini kita sudah lihat cukup banyak Pontianak,” kata Connie, “Berikutnya kita masih ada kesempatan menjelajah sisi utara Sungai Kapuas, siapa tahu ada yang menarik di sana.”