Berlabuh di Atap Rumah

Tanpa konteks tsunami, agaknya susah menjelaskan posisi kapal ini. Jelas bukan karya seni atau lelucon praktikal orang-orang Aceh. Kapal ini bersandar di atap sesudah dihantam gelombang Samudera Hindia dengan lambung berlabuh tepat di atas toilet rumah berlantai dua di Gampong Lampulo. Penduduk Aceh kini lebih mengenalnya dengan nama Kapal Lampulo.

Keterkandasan perahu nelayan tadi pada tempatnya saat ini mengubah fungsinya dari sebuah kendaraan pengarung lautan menjadi sebuah monumen di ketinggian daratan. Singkat cerita berdiamlah dirinya di sebuah kampung ramai tidak jauh dari Sungai Krueng Raya.

Dilarang melompat. Demikian bunyi perintah singkat yang tercantum pada papan pengumuman yang ada di hadapan saya. Jujur saja, sebenarnya saya cukup tergoda untuk melompat. Meskipun saya tahu bahwa kapal lapuk yang telah sepuluh tahun bersandar di sini barangkali akan langsung ambrol apabila dipijak dan mengirimkan pemijaknya langsung ke lantai dasar.

Orang punya cerita, perahu ini pada kala itu menyelamatkan lima lusin nelayan di pesisir Sungai Krueng Raya dari hempasan gelombang tsunami. Di dek kapal kecil inilah para nelayan bergelantungan lolos dari hempasan ombak brutal menggulung.

“Bukan hanya itu,” kisah si ibu pemilik warung kepada saya dan Fathur, “Dulu ketika kandas di atas sini katanya ada yang menemukan buaya tersangkut di bawah kapal.”

Benar atau tidak entahlah. Namun yang jelas sekarang tempat ini menjadi arena bermain favorit bagi anak-anak, termasuk beberapa bocah balita yang nampak asyik berlarian. Barangkali mereka pun belum mampu memahami bagaimana kapal ini bisa berlabuh pada tempat yang bukan seharusnya.