“Orang biasa berfoto di kebun teh bukan kebun kopi,” gurau Hasan yang saya sambut dengan tawa keras. Meskipun perjalanan ini penuh dengan senda gurau namun kami bertiga tidak dapat menyembunyikan rasa was-was bahwa kami harus berjalan kaki menyusuri tanah berlumpur yang mengalasi kawasan Rimba Candi.
Dari namanya saja Rimba Candi menyiratkan sebagai sebuah hutan penuh dengan candi. Namun bayangan kami mendadak sirna tatkala menemukan bahwa Rimba Candi adalah hamparan perkebunan kopi yang mana di bagian tengahnya terdapat hamparan bebatuan zaman Megalitikum. Pecahan candi kata mereka, entah siapa pembuatnya dan kapan tepatnya.
Bicara soal kopi, kopi produk Pagaralam belum setenar pabrikan Mandailing atau Gayo yang ada di sebelah utara pulau yang sama. Meskipun demikian, kopi-kopi khas perbatasan Sumatera Selatan dan Bengkulu ini mempunyai niche peminatnya sendiri. Kopi Semendo, demikian mereka acapkali menyebutnya, adalah kopi khas Pagaralam. Bahkan belakangan usaha untuk mempopulerkan kopi ini membuahkan hasil lantaran Semendo sendiri sempat diekspor ke Eropa.
Kopi Semendo bukanlah kopi-kopi ringan citarasa tinggi ala kafe-kafe di ibukota. Kopi khas Tanah Besemah ini lebih dikenal sebagai ‘kopi sopir truk’ yang punya citarasa kasar dan efek stimulan yang kuat. Pokoknya kalau ngopi dijamin melek, demikian kata mereka.
Berbeda dengan kopi-kopi enteng yang digunakan untuk menemani obrolan pagi, kopi khas Pagaralam adalah kopi yang menemani begadang malam mulai dari ronda hingga nyetir bus. Kelasnya pun Robusta yang notabene relatif lebih murah apabila dibandingkan kelas Arabica sehingga ada kesan kuat sebagai tipikal kopi yang merakyat.
Hasan hanya menggeleng pelan tatkala saya bertanya apakah ada pabrik pengolahan kopi di Pagaralam. Tidak ada, katanya. Hampir seluruh kopi panenan daerah ini dikirim ke Lampung untuk kemudian diproduksi di sana menjadi kopi olahan. Alhasil, Lampung pun lebih terkenal sebagai penghasil kopi meskipun faktanya sebagian dari kopi-kopi tersebut diimpor dari Sumatera Selatan.
Industri kopi di Pagaralam masih jauh dari kata dewasa. Kopi-kopi olahan hampir seluruhnya merupakan hasil kerja industri kecil yang ada di rumah-rumah penduduk. Entah sampai kapan pemerintah daerah menyadari potensi yang mereka miliki, hingga saat ini mereka hanya bisa berharap ada investor yang mengisi kevakuman ini.