“Disebutlah tanah Bangli sedang diperintah oleh seorang raja yang sangat bijaksana bergelar Ratu Bhatara Guru Sri Adhikunti Ketana. Beliau ingin membangun Pura yang akan dijadikan pemujaan oleh penduduk Bangli, bahkan rakyat Bali.”
Tidak sebiasanya saya mengikuti saran Lonely Planet. Namun kekecewaan terhadap Pura Besakih yang dipenuhi penjaja jasa menyudahi kunjungan saya ke pura terbesar di Bali itu. Alternatif yang ditawarkan oleh Lonely Planet cukup unik, Pura Kehen, katanya. Sejauh yang saya ketahui, Pura Kehen bukanlah nama yang lumrah didengar di telinga wisatawan Bali.
Bermodalkan GPS, saya menggeber sepeda motor menjangkau pura yang namanya saja baru kali ini saya dengar. Benar. Memang pura ini jauh dari kesan tenar, nuansanya sepi dan tidak nampak seorang pun di sana.
Pura Kehen terletak tidak jauh dari simpang jalan utama. Untuk mencapainya pun relatif mudah karena papan penunjuk jalan demikian jelas mengarahkan kita ke pura ini. Yang berkesan adalah pemandangan latar depannya, lebar megah dengan undak-undakan yang penuh ukir-ukiran.
Meskipun sepi, Pura Kehen merupakan salah satu pura besar. Pada pelataran tempat suci ini diadakan upacara setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Hari Raya Pagerwesi. Dalam periode upacara, desa-desa di sekitar Pura Kehen secara bergilir akan mempertunjukkan tari-tarian sakral yang dihaturkan untuk pemujaan.
Adapun setiap tiga tahun sekali, upacara yang maha besar akan digelar. Upacara tersebut dikenal dengan istilah Ngusaba Dewa, dengan lama ritual berlangsung hingga sebelas hari. Upacara lain yang lebih kecil dibagi ke dalam dua tingkatan yaitu madya dan nista. Madya berlangsung setiap hari raya sementara nista yang berskala kecil adalah kewajiban yang dipenuhi sewaktu-waktu.
Pura Kehen memang unik. Bukan hanya karena mengobati kekecewaan terhadap kesemrawutan di Pura Besakih, namun juga mengenalkan saya kepada pengetahuan baru ihwal Hinduisme.