Muntok mempunyai andil di dalam narasi politik republik ini. Kota kecil di hujung Pulau Bangka yang didominasi oleh etnis Tionghoa (Hakka) ini menjadi tempat pengasingan Soekarno di dalam periode perjuangan kemerdekaan. Satu tahun lamanya Soekarno berada di tempat ini.
Waktu yang singkat memang. Namun cukup baginya untuk menggerakkan dukungan masyarakat setempat. Lima dekade berlalu, yang tersisa tinggallah memoar.
Sosok Soekarno terabadikan, sementara Muntok terlupakan.
Saya menatap laut lepas dari atap Wisma Menumbing, tempat favorit sang proklamator. Pesona Muntok masih ada. Air lautnya yang kalem dan pasirnya yang putih, semua masih sama seperti delapan dekade silam tatkala para bapak bangsa diasingkan ke tempat ini.
Sudah barang tentu Muntok kehilangan dentuman masa silamnya. Kini timah melimpah maupun kaum pedagang itu sudah tiada lagi. Muntok yang pernah tumbuh pesat dengan timah-timahnya kini kembali meredup menjadi sebuah perkampungan nelayan yang tenang, terselip pada pasase sempit Pulau Bangka dan Pulau Sumatera.