Kembali dari Tanah Maratua

“Kita tidak bisa pulang pagi ini,” sanggah bapak pemilik perahu, “Gelombangnya masih terlampau besar, bisa jungkir balik di lautan, jadi lebih baik kita tunggu beberapa jam lagi saja.”

Jadilah saya duduk berdiam memeluk ransel di tepi perairan Berau, pasase sempit yang dihimpit Pulau Kalimantan dan Sulawesi, menanti ombak yang liar mereda. Entah apa maunya, gelombang buas itu tidak nampak mereda, bahkan justru semakin menjadi-jadi.

Sejauh mata memandang hanya terlihat perairan biru toska yang menghampar hingga ke daratan Kalimantan sebentuk coretan hitam tipis di seberang sana. Sementara di bawah pondok-pondok kayu ini gerombolan ikan berkumpul berkeliaran ke sana kemari beradu dengan gelombang yang pecah-pecah menghantam dinding pondok.

Sudah dua minggu terlewatkan di perairan ini. Kepulangan yang saya jadwalkan pada pagi ini ternyata harus tertunda entah berapa lama lantaran kondisi laut yang kurang bersahabat. Lama tinggal di Derawan membuat saya lebih mampu berdamai dengan keadaan seperti itu, toh tidak ada yang sedang mengejar saya.

Barangkali satu jam kemudian, entahlah saya kehilangan daya untuk menakar waktu di semenjak tinggal pulau ini, bapak pemilik perahu berteriak dari dermaga. Sinyal keberangkatan. Segeralah saya bergegas menenteng ransel dan lari menghampiri. Akhirnya perpisahan yang dinanti-nanti ini tiba juga.

Perahu kayu bermotor berputar perlahan kemudian deru suara mesin bergaung sangat kencang seakan-akan seantero taman nasional bisa mendengarnya. Kapal tua pun berlepas dari dermaga Pulau Maratua menuju ke Tanjung Batu di dalam keadaan goyangan perahu yang benar-benar mengocok pantat.

“Hari ini sepertinya sulit mencari kendaraan di Tanjung Batu,” teriak bapak pengemudi perahu mencoba mengalahkan suara mesin perahunya sendiri, “Tetapi nanti saya usahakan bantu cari!”

Begitulah Kalimantan. Kalau kendaraan tidak penuh ya tidak berangkat.