Adalah Raja Sungkawawo yang bertindak laiknya Genghis Khan kecil di Tanah Mori. Mori dulunya merupakan tanah bagi suku-suku minor disebut mokole yang dimpimpin oleh para tetua yang disebut molokempalili. Suku-suku ini berdiri sendiri-sendiri di setiap sudut Morowali, konflik dan sengketa adalah hal yang lumrah di antara mereka.
Barulah ketika para molokempalili berkumpul, mereka memutuskan untuk mengangkat seorang raja di antara mereka. Raja inilah yang kemudian membawahi seluruh suku-suku yang ada di Morowali dalam satu payung agung yang mereka sebut sebagai Kerajaan Mori.
Sore itu Pak Gatot mengantar Novi dan saya mengunjungi bekas Kraton Kerajaan Mori. Rumah kayu yang terletak di bukit kecil di ambang Teluk Tomori ini dulunya merupakan pusat komando Kerajaan Mori. Di sinilah pemerintahan dikendalikan hingga penghujung era kolonialisme Belanda di tanah air.
“Pada upacara kematian akan ada acara besar-besaran di sini,” cetus Pak Gatot yang merupakan keturunan langsung dari Raja Mori, “Saya sendiri sebenarnya punya darah raja, ibu saya adalah cucu dari salah satu saudara raja terakhir. Sementara saya sendiri blasteran karena ayah saya adalah orang Jawa.”
Di samping Suku Mori yang menjadi kaum mayoritas di Morowali Utara, di sini juga terdapat Suku Wana yang tinggal di hutan. Suku Wana merupakan etnis yang masih hidup secara tradisional.
“Suku Mori boleh dibilang setengah Kristen dan setengah Islam, komposisinya cukup berimbang di sini,” terang Pak Gatot lagi, “Sementara Suku Wana masih menganut animisme. Berulang kali usaha untuk memperkenalkan mereka kepada agama selalu ditolak mentah-mentah.”
Pandangan saya menyapu ke seisi ruangan teras rumah. Di salah satu sudut tembok terpajang sepasang belati bertatah ukir-ukiran. Selepas itu tidak terlihat apapun yang klasik dari bagian dalam rumah ini selain kamar tidur sang raja yang masih dipertahankan oleh para pemiliknya yang sekarang.