Langit sudah terang namun sepertinya matahari belum kelihatan. Terlampau pagi mungkin. Kabut tebal masih terlihat memayungi kaki Gunung Kerinci, sementara puncaknya tidak terlihat lantaran tertelan awan. Udara pagi yang dingin menusuk tulang tidak sanggup menghalangi niatan saya untuk berjalan menyisir perkebunan teh.
Suara deru mesin pabrik sudah terdengar di kejauhan, beberapa ratus meter sebelum saya masuk ke pekarangannya. Di pabrik tua inilah industri teh Kayu Aro menghidupi ratusan, atau mungkin bahkan ribuan, warga Kersik Tuo.
Pabrik teh Kayu Aro berdiri pada tahun 1928. Pada waktu Kongres Pemuda digaung-gaungkan di Jakarta, penduduk Jambi sibuk membuka hutan untuk ditanami teh. Semenjak itu, setiap harinya lebih dari seratus ton teh basah diproduksi dari lahan seluas hampir tiga ribu hektar.
Darjeeling sih bukan. Tetapi Kayu Aro tetap merupakan satu perkebunan penghasil teh hitam dengan pemandangan paling eksotis di dunia. Dari ketinggian perbukitan di Gunung Tujuh, kita bisa melihat hamparan hijau perkebunan teh membentang bak permadani tanpa akhir dengan latar Gunung Kerinci di baliknya.
Pada mulanya industri teh di Kayu Aro ditangani oleh perusahaan Belanda bernama Namlodee Venotchaat Handle Vereeniging Amsterdam. Namun tiga puluh tahun kemudian diambil alih oleh PT. Perkebunan Nusantara VI yang melakukan seluruh lini pekerjaan di perkebunan ini, mulai dari penanaman, perawatan, pemetikan, pengolahan, pengolahan, hingga pembungkusan.
“Pekerja pabrik tidak boleh memakai kosmetik,” terang Pak Subandi sambil menyeduh secangkir teh, “Katanya sih buat menjaga agar kualitas tehnya tidak terganggu. Cara pengolahannya pun masih tradisional sekali. Tidak ada yang berubah selama satu abad.”