Jalan Panjang bagi Jailolo

Di gores-gores pena bangsa Portugis, Jailolo dicatat dengan nama Gilolo. Bukan hanya sebagai episentrum perekonomian pada periode tersebut, Gilolo mereka sebut-sebut sebagai cikal bakal kesultanan-kesultanan di Maluku Utara, lantaran statusnya sebagai kesultanan tertua di seantero arkipelago ini.

Namun waktu tidak bersikap ramah terhadap Jailolo, abad demi abad berselang, kesultanan nan makmur ini bertekuk lutut di bawah kedua kompatriot kecilnya, Ternate dan Tidore. Enam abad lamanya tanah ini berada di bawah bayang-bayang kedua tetangganya itu, hingga akhirnya mata rantai tersebut dipatahkan oleh instruksi presiden pada era republik ini.

Tidak banyak yang tersisa dari historia Kesultanan Jailolo. Catatan-catatan yang dulu pernah ada entah hilang ke mana, atau bahkan mungkin tidak pernah ada yang mencatatnya. Dokumentasi Portugis penuh lubang-lubang yang tidak terjelaskan. Kesultanan ini pudar ditelan zaman.

Rissa mendampingi saya berjalan menyusuri Teluk Jailolo yang berpasir hitam. Bongkah-bongkah kayu yang terseret oleh gelombang lautan terdampar di sepanjang lekuk garis pantai, memenuhi lanskap berbaur dengan hamparan pasir hitam yang memanjang tidak berkesudahan. Rasanya agak sulit dipercaya bahwa daerah sepi ini dahulu kala pernah begitu berjaya.

Moloku Kie Raha, alias Maluku Utara, disangga oleh empat pilar bahari yang disematkan kepada empat kesultanan terbesar arkipelago ini, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Jailolo runtuh paling awal, sementara Bacan sudah terlampau lemah. Secara de facto praktis hanya Ternate dan Tidore yang kemudian mewarnai sejarah masa-masa penjajahan nusantara di Maluku Utara.

Sejatinya perasaan nostalgia itu masih tersisa. Saya yakin. Itulah mengapa ada inisiasi masyarakat dan pemerintah daerah Halmahera Barat untuk kembali mendenyutkan Jailolo. Kembali berkibar seperti tujuh abad silam.