Meraba Kesultanan Tidore bagaikan mencari jejak di tanah keras. Ribuan catatan yang mengagungkan kedigdayaan kesultanan tua di Tanah Soasio ini seakan tidak berbekas pada keseharian pulau yang senyap ini. Tanpa adanya catatan-catatan ratusan tahun itu barangkali saya tidak akan pernah menyadari bahwa di tempat ini pernah ada sebuah kesultanan yang menguasai setengah dari Indonesia bagian timur.
Tidak banyak yang mengingat bahwa Kesultanan Tidore pernah menjadi kerajaan paling merdeka di Maluku. Pada tahun 1521, Sultan Mansur menerima Spanyol sebagai sekutu sebagai jawaban untuk mengimbangi sepak terjang Ternate yang dibantu oleh Portugis. Pada tahun 1663, Portugis melayangkan protes kepada Spanyol dengan mengungkit ulang Perjanjian Tordesillas yang disepakati pada tahun 1494, Spanyol pun angkat kaki ke Filipina.
Kepergian Spanyol dari tanah Maluku menyisakan Tidore sebagai kerajaan merdeka yang berhasil mempertahankan kekuasaan dari pengaruh bangsa asing, termasuk Belanda. Belanda sendiri baru berhasil menguasai Tidore pada abad ke-18, lebih dari seratus tahun setelah kedatangan mereka ke tanah ini.
Islam masuk ke Tidore berkah dakwah para syekh jazirah Arab. Masuknya Islam ke tanah ini dan dianutnya agama tersebut oleh Muhammad Naqil membuat Islam menjadi agama terbesar di Tanah Soasio. Namun barulah tiga ratus tahun kemudian Kesultanan Tidore menjadikan Islam sebagai agama resmi negaranya.
Kesultanan Tidore sendiri baru mencapai puncak kejayaan di bawah Sultan Nuku, pada periode akhir abad ke-18. Pada masa pemerintahan Sultan Nuku itulah Tidore mendominasi di atas Ternate dan menyatukan kedua kerajaan untuk menyingkirkan Belanda dari Maluku. Kepergian Belanda kemudian membuka pintu bagi masuknya Inggris yang menginisiasi hubungan dagang dengan Tidore.
Wilayah Tidore sendiri sejatinya cukup luas, mencapai ke daratan Papua. Itulah mengapa ketika Irian Jaya pertama kali bergabung dengan Indonesia, ibukota provinsi tersebut diposisikan di Kota Soasio. Kesultanan Tidore mengalami kemunduran ketika konflik dengan Kesultanan Ternate kembali menyeruak. Takluknya Ternate di tangan Belanda semakin menyulitkan posisi Tidore yang di kemudian hari turut takluk.
Kini Soasio menjadi jantung bagi Pulau Tidore, sebuah kelurahan yang teronggok di sudut pulau yang sepi. Salah satu peninggalan dari Kesultanan Islam ini yang paling mencolok adalah sebuah kraton beratap biru yang tampak tidak dijaga. Tidore sendiri tidak pernah kembali ke masa kejayaan seperti yang sudah-sudah.