Barangkali inilah desa adat paling tenar di Toraja. Kete Kesu bak sebuah gambar kartu pos yang muncul di dunia nyata, sebanyak dua lusin tongkonan berhadap-hadapan membentuk dua ruas barisan tepat di hadapan saya. Atap-atap tongkonan yang besar dan berat terselimuti oleh dedaunan rimbun yang sulurnya menjuntai-juntai menutupi sebagian badan bangunan.
Kete Kesu adalah sebuah sinopsis Tana Toraja. Ini adalah sebuah penyederhanaan, gambaran singkat akan kebudayaan Toraja yang kaya misteri. Tidak hanya baris-baris tongkonan tertampak di sudut-sudutnya, namun juga kubur-kubur gantung dan menhir-menhir yang turut menghiasi seputaran desa ini.
Tongkonan berasal dari kata tongkon, yang bermakna duduk. Pada masa silam, para bangsawan Toraja akan duduk-duduk bersama di dalam tongkonan untuk berdiskusi. Keberadaan tongkonan ini telah mendarah daging di dalam hidup masyarakat Tana Toraja, mulai dari sebagai jantung pemerintahan hingga pusat kontrol sosial.
Di hadap setiap tongkonan tergantung kerangka tengkorak kerbau yang melambangkan status dari keluarga pemilik tongkonan tersebut. Semakin banyak tanduk kerbau yang terpampang di depan tongkonan, maka semakin tinggi pula status sosial dari pemiliknya.
Kete Kesu tentu bukan desa yang berdiri kemarin sore. Usia tongkonan yang berada di desa ini pun tidak main-main, beberapa di antaranya mencapai hampir setengah milenium. Sebagian sudah mulai terlihat lapuk dimakan waktu sementara sebagian sisanya terlihat masih kokoh.
Rudy membuntuti saya berjalan mengitari kompleks tongkonan Kete Kesu. Di sebaliknya terdapat baris-baris kubur batu sepantar dengan yang kami saksikan di Lemo dan Londa. Ke manapun melangkah di Tana Toraja, kami seakan-akan tidak dapat melepaskan diri dari festival kematian. Memang di Tana Toraja inilah kematian menjadi begitu diglorifikasi.
“Foto dulu di depan sana,” pinta Rudy kepada saya, “Kalau ke Tana Toraja kita harus punya foto di Kete Kesu karena ini kan yang banyak kita lihat di gambar-gambar kalender.”
Boleh. Terserah apa maumu saja lah.