“Di kampung sebelah sana dulu ada seorang nenek tua,” ucap Usman memulai ceritanya, “Nenek tua itu kalau berniat menyapu di halaman rumahnya, dia membisikkan sesuatu dan komodo-komodo langsung menyingkir menjauh. Komodo patuh dengan nenek. Saya penasaran dan pernah mendengarkan bisikan nenek itu kepada sekelompok komodo.”
Lomar dan saya diam menyimak cerita Usman, sementara kami terus berjalan menyusuri hutan rimbun dengan permukaan tanah yang kering kerontang tanda sudah lama tidak hujan.
“Mokelehine,” kata Usman menirukan ucapan nenek itu. Satu kata yang entah apa artinya, yang membuat komodo-komodo menyingkir dan memberikan jalan bagi si wanita renta.
Kami tiba di pucuk sebuah bukit kecil. Beberapa ekor komodo liar nampak berkumpul di pasir, bermalas-malasan. Usman memberi kode kepada Lomar dan saya untuk tetap siaga dengan tongkat besi di tangan masing-masing. Rasanya campur aduk antara ngeri dan terkesima, karena predator itu menengadahkan kepalanya hanya beberapa meter di hadapan saya.
Komodo itu bersuara. Seumur-umur baru pertama kalinya saya mendengarkan suara komodo, terdengar mirip pembauran kebablasan antara desisan dan geraman. Mendesis panjang laiknya ular namun dengan irama menggeram lirih laiknya anjing. Seperti motor tua yang tidak kuat distarter.
“Tidak sebiasanya komodo berkerumun,” kata Usman, “Mungkin mereka tadi sama-sama mencium bau makanan di kantor sana dan berjalan berbarengan ke bawah. Biasanya sih yang datang satu-satu.”
Kami berjalan pelan menjauhi kawanan komodo itu dengan tetap waspada. Gerombolan kadal raksasa itu berjalan perlahan menjauh, menuju ke arah kantor taman nasional di bawah sana. Entah mengapa saya tadi kok bisa lupa mencoba kata-kata ajaib sang nenek, Mokelehine, padahal kan siapa tahu manjur.